“ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
DENGAN
PENYAKIT DIFTERI”
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Difteri
merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu
kuman yang menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian
antara hidung dan faringa atau tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui
kontak hubungan dekat, melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita
yang akan sembuh, juga melalui batuk dan bersin penderita.
Penderita
difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama
permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari
kematian bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah
padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga
kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang kesehatan kita.
Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan penyakit.
Sejak
diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit difteri
mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut.
Anak-anak yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap
penyakit yang menyerang saluran pernapasan ini.
1.2 Rumusan Masalah
- Apa pengertian difteri.?
- Bagaimana etiologi difteri.?
- Bagaimana patofisiologi difteri?
- Apa manifestasi klinis dari difteri.?
- Bagaimana klasifikasi difteri.?
- Bagaimana komplikasi difteri.?
- Apa pemeriksaan penunjang untuk difteri ?
- Bagaimana penatalaksanaan untuk penyakit difteri?
- Bagaimana tindakan pencegahan untuk terhadap difteri?
1.3 Tujuan
Penulisan
- Meningkatkan pemahaman mahasiswa tentang penyakit Difteri
- Memberikan pengetahuan kepada mahasiwa dalam menegakkan asuhan keperawatan pada klien yang mengalami difteri
1.4 Manfaat
Penulisan
- Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan yang tepat untuk membantu klien yang mengalami difteri
- Mengetahui dan memahami hal-hal yang perlu diperhatikan dalam membantu klien yang mengalami penyakit difteri
BAB II
KONSEP TEORI
2.1 Definisi Difteri
Difteri
ialah suatu penyakit infeksi mendadak yang disebabkan oleh kuman
Corynebacterium difteria. Adalah suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat
menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae dengan ditandai
pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa.
Difteri adalah suatu infeksi demam akut, biasanya ditenggorokan dan paling
sering pada bulan-bulan dingin pada daerah beriklim sedang.
Difteri adalah suatu infeksi akut yang mudah menular dan yang serig
diserang adalah saluran pernafasan bagian atas dengan tanda khas timbulnya
pseudomembran.
2.2 Etiologi Difteri
Disebabkan
oleh Corynebacterium diphtheriae, bakteri gram positif, yang bersifat polimorf,
tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Pewarnaan sediaan langsung dapat
dilakukan dengan biru metilen atau biru toluidin. Basil ini dapat ditemukan
dengan sediaan langsung dari lesi.
Sifat
basil polimorf, gram positif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, mati
pada pemanasan 60ºC selama 10 menit, tahan sampai beberapa minggu dalam es, air
susu, dan lendir yang telah mengering. Basil ini dapat membentuk:
Ø Pseudomembran yang sukar diangkat,
mudah berdarah dan berwarna putih keabu-abuan yang terkena terdiri dari fibrin,
leukosit, jaringan nekrotik dan basil.
Ø Eksotoksin yang sangat ganas dan
dapat meracuni jaringan setelah bebrapa jam diabsorbsi dan memberikan gambaran
perubahan jaringan yang khas terutama pada otot jantung, ginjal dan jaringan
saraf
2.3 Patofisiologi Difteri
Patofisiologis kuman berkembang biak
pada saluran nafas atas dan dapat juga pada vulva kulit mata walaupun jarang
terjadi. Kuman membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran
timbul local dan menjalar dari laring, faring dan saluran nafas atas. Kelenjar
getah bening akan tampak membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila
mengenai otot jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul
paralysis otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan syaraf. Sumbatan pada
jalan nafas sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trachea
menyebabkan kondisi yang fatal.
2.4 Manifestasi klinik
Ø Gejala umum yang timbul berupa:
o Demam tidak terlalu tinggi
o Lesu dan lemah
o Pucat
o Anoreksia
o Demam tidak terlalu tinggi
o Lesu dan lemah
o Pucat
o Anoreksia
Ø Gejala khas yang menyertai:
o Nyeri menelan
o Sesak nafas
o Serak
o Nyeri menelan
o Sesak nafas
o Serak
2.5
Klasifikasi Difteri
Ø Menurut tingkat keparahannya, penyakit
ini dibagi menjadi 3 tingkat yaitu :
1. Infeksi ringan
bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri
menelan.
2. Infeksi sedang
bila pseudomembran telah menyerang sampai faring (dinding belakang rongga
mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring.
3. Infeksi berat
bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi
seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak)
dan nefritis (radang ginjal).
Ø Menurut lokasi gejala yang dirasakan
pasien :
1. Difteri hidung
bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur darah. Difteri
hidung biasanya ringan dan kronis dengan salah satu rongga hidung tersumbat dan
terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan
kasus terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan
kegagalan jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala
klinis difteri. Gejala lain yang muncul belakangan antara lain neuropati yang
mirip dengan Guillain Barre Syndrome. Tingkat kematian kasus mencapai 5-10%
untuk difteri noncutaneus, angka ini tidak banyak berubah selama 50 tahun.
Bentuk lesi pada difteria kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari
lesi penyakit kulit yang lain, bisa seperti atau merupakan bagiandariimpetigo.
2. Difteri faring
dan tonsil dengan gejala radang akut tenggorokan, demam sampai dengan 38,5
derajat celsius, nadi yang cepat, tampak lemah, nafas berbau, timbul
pembengkakan kelenjar leher. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran
berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding
belakang mulut (faring).
3. Difteri laring
dengan gejala tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi
sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan
kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa
mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas.
4. Difteri
kutaneus dan vaginal dengan gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya.
Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi
cenderung tidak terasa apa apa.
2.6 Komplikasi Difteri
Komplikasi yang bias muncul pada pasien difteria yaitu :
Ø Miokarditis (minggu ke-2).
Ø Neuritis.
Ø Nefritis.
Ø Bronkopneumonia
Ø Paralisis
2.7 Pemeriksaan Penunjang
a. Schick test
Tes
kulit ini digunakan untuk menentukan status imunitas penderita. Tes ini tidak
berguna untuk diagnosis dini karena baru dapat dibaca beberapa hari kemudian.
Untuk pemeriksaan ini digunakan dosis 1/50 MED. Yang diberikan intrakutan dalam
bentuk larutan yang telah diencerkan sebanyak 0,1 ml bila orang tersebut tidak
mengandung antitoksin akan timbul vesikel pada bekas suntikan akan hilang
setelah beberapa minggu. Pada orang yang mengandung titer antitoksin yang
rendah uji schick dapat positif, pada bekas suntikan akan timbul warna merah
kecoklatan dalam 24 jam. Uji schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan
reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas
atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu dapat terjadi akibat
reaksi alergi terhadap protwin antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam.
b. Pemeriksaan laboratorium
Pada
pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis
polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit, dan kadar albumin. Pada urin
terdapat albumin ringan.
c. Pemeriksaan Diagnostik
Ø Pada pemeriksaan darah terdapat
penurunan kadar hemoglobin dan leukositosis, penurunan jumlah eritrosit dan
kadar albumin.
Ø Pada urine terdapat albuminuria
ringan.
2.8 Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Pengobatan umum dengan perawatan
yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang dilakukan pada permulan dirawat satu
minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai keadaan EKG 2 kali berturut-turut
normal dan pengobatan spesifik. Pengobatan spesifik untuk difteri :
Ø ADS (Antidifteri serum), 20.000
U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya harus dilakukan uji kulit
dan mata.
Ø Antibiotik, diberikan penisillin
prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Pada pasien yang dilakukan
trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis.
Ø Kortikosteroid, untuk mencegah
timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat membahayakan, dengan memberikan
predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila terjadi sumbatan jalan nafas
yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi
2. Penatalaksanaan keperawatan
Pasien
difteri harus dirawat di kamar isolasi yang tertutup. Petugas harus memakai
gaun khusus (celemek) dan masker yang harus diganti tiap pergantian tugas atau
sewaktu-waktu bila kotor (jangan dari pagi sampai malam hari). Sebaiknya
penunggu pasien juga harus memakai celemek tersebut untuk mencegah penularan ke
luar ruangan. Harus disediakan perlengkapan cuci tangan: desinfektan, sabun,
lap, atau handuk yang selallu kering (bila ada tisu) air bersih jika ada kran
juuga tempat untuk merendam alat makan yang diisi dengan desinfektan.
Risiko
terjadi komplikasi obstruksi jalan napas, miokarditis, pneumonia.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.
Pasien difteri walaupun penyakitnya ringan perlu dirawat di rumah sakit karena potensial terjadi komplikasi yang membahayakan jiwanya yang disebabkan adanya pseudomembran dan eksotosin yang dikeluarkan oleh basil difteri tersebut.
Ø Sumbatan jalan napas.
Kelainan ini terjadi karena adanya
edema pada laring dan trakea serta adanya pseudomembran. Gejala sumbatan adalah
suara serak dan stridor inspiratoir. Bila makin berat terjadi sesak napas,
sianosis, tampak retraksi otot, kedengaran stridor :
a. Berikan O2
b. Postural drainase
c. Baringkan setengah duduk.
d. Hubungi dokter.
e. Pasang infus (bila belum dipasang).
f. Hubungi orang tua beritahu keadaan
anak dan bahaya yang dapat terjadi.
Ø Miokarditis.
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh janutng akan menyebabkan terjadinya miokarditis yang biasanya kelainan ini timbul pada minggu kedua sampai ketiga. Untuk mencegah adanya miokarditis hanya dengan pemberian suntikan ADS sedini mungkin. Tetapi untuk mengetahui gejala miokarditis perlu observasi terus menerus dan pasien harus istirahat paling sedikit 3 minggu atau sampai hasil EKG 2 kali berturut-turut normal. Selama dirawat, pengamatan nadi, pernapasan dan suhu dicatat dalam perawatan khusus. Bila tidak ada alat EKG :
Eksotoksin yang dikeluarkan oleh basil difteri jika diserap oleh janutng akan menyebabkan terjadinya miokarditis yang biasanya kelainan ini timbul pada minggu kedua sampai ketiga. Untuk mencegah adanya miokarditis hanya dengan pemberian suntikan ADS sedini mungkin. Tetapi untuk mengetahui gejala miokarditis perlu observasi terus menerus dan pasien harus istirahat paling sedikit 3 minggu atau sampai hasil EKG 2 kali berturut-turut normal. Selama dirawat, pengamatan nadi, pernapasan dan suhu dicatat dalam perawatan khusus. Bila tidak ada alat EKG :
a.
Pemantauan nadi sangat penting dan harus dilakukan setiap jam dan dicatat
secara teratur. Bila terdapat perubahan kecepatan nadi makin menurun
(bradikardi) harus segera menghubungi dokter. Perawatan lain selain tanda vital dan keadaan
umum :
ü Pasien tidak boleh banyak bergerak,
tetapi sikap berbaringnya harus sering diubah, misalnya setiap 3 jam untuk
mencegah terjadinya komplikasi brokopneumonia (pneumonia hipostatik).
ü Jaga kulit pada bagian tubuh yang
tertekan agar tidak terjadi dekubitus (ingat pasien tirah baring selama 3
minggu, tidak boleh bangun).
Ø Komplikasi yang mengenai saraf.
Komplikasi yang mengenai saraf dapat
terjadi pada minggu pertama dan kedua. Jika mengenai saraf palatum mole (saraf
telan) dengan gejala bila pasien minum air/susu akan keluar melalui hidungnya.
Jika terjadi demikian :
a. Cara memberikan minum harus
hati-hati, pasien sambil didudukkan.
b. Bila pasien makan cair agar dibuat
agak kental dan diberikan sedikit demi sedikit.
Ø Komplikasi pada ginjal.
Selama pasien difteri dalam
perawatan keadaan urine selain harus diperhatikan warnanya juga banyaknya
apakah normal atau tidak.
Ø Gangguan masukan nutrisi.
Gangguan masukan nutrisi pada pasien
difteri selain disebabkan karena sakit menelan juga karena anoreksia. Jika anak
masih mau menelan bujuklah agar ia mau makan sedikit demi sedikit dan berikan
makanan cair atau bubur encer dan berikan susu lebih banyak. Jika pasien tidak
amau makan sama sekali atau hanya sedikit sekali, atau dalam keadaan sesak
nafas perlu dipasang infus. Setelah 2-3 hari kemudian sesak nafas telah
berkurang sebelum infus dihentikkan dicoba makan per oral dan apabila anak
telah mau makan infus dihentikan. Berikan minum yang sering untuk memelihara
kebersihan mulut dan membantu kelancaran eliminasi
2.9 Tindakan pencegahan
1. Imunisasi
a.
Iminisasi Primer
·
Anak usia 6 minggu - 6
tahun Diberikan dosis Td secara IM/ SC dengan interval 4-6 minggu dimulai
ketika anak usia 6 minggu - 2 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian ke-4
selama 1 tahun sesudah pemberian ke-3 preparat yang digunakan adalah Pediatric
Taksoid Dipteria
·
Anak usia 7 tahun /
lebih Diberikan Td dengan pemberian ke-2 berselang waktu 4-8 minggu diberikan
dengan pemberian 1 dan pemberian 3 berselang 1 tahun dengan pemberian ke-2,
preparat yang digunakan adalah Adult Taksoid Dipteria
b.
Imunisasi Boster
·
Anak usia 6 minggu- 6
bulan apabila pemberian dosis ke-4 imunisasi primer anak belum berumur 4 tahun
maka diberikan boster ketika anak tersebut mulai masuk TK
·
Anak usia 7 tahun atau
lebih diberikan boster setiap 10 tahun
2. Isolasi pasien
Penderita
difteri harus diisolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaansediaan
langsung menunjukkan tidak terdapat lagi Corynebacterium diphtheriae 2 kali
berturut-turut.
3. Pencarian orang carier difteria
dengan uji shick dan kemudian diobati. Dengan tujuan untuk mengetahui apakah tubuh mengandung anti
toksin terhadap kuman difteri.
Cara
: Dengan menyuntikan IC 1/50 Minimal Lethal Dose (MLD) sebanyak 0,02 ml, jika
positif akan terlihat merah kecoklatan selama 24 jam
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Identitas: dapat terjadi pada semua
golongan umur, namun sering dijumpai pada anak (usia 1-10 tahun).
b. Keluhan utama: Biasanya pasien
datang dengan keluhan kesulitan bernapas pada waktu tidur, nyeri pada waktu
makan, dan bengkak pada tenggorokan/leher.
c. Riwayat kontak dengan keluarga perlu
dikaji.
d. Pemeriksaan fisik:
Pernapasan, sulit
bernapas, produksi sputum meningkat, dspneu, pada tenggorakan ada luka, edema
mukosa, pembesaran kelenjar getah bening, pernapasan cepat dan dangkal,
penggunaan otot bantu pernapasan, terdengar wheezing (auskultasi).
e.
Nutrisi
Tidak nafsu
makan, sulit menelan, turgor kulit menurun, berat badan menurun, edema, laring,
faring.
f. Aktivitas
Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, kurang tidur, penurunan kemampuan, beraktivitas, pusing, fatique, insomnia.
Tidak mampu memenuhi kebutuhan sehari-hari, kurang tidur, penurunan kemampuan, beraktivitas, pusing, fatique, insomnia.
g. Sirkulasi
Nadi meningkat (takikardi), aritmia, interaksi
sosial, merasa tergantung, pembatasan
mobilitas fisik.
Pada
difteritonsil-faring terdapat malaise, suhu tubuh lebih dari 38,9oC,terdapat
pseudomembran pada tonsil dan dinding faring, serta bullneck. Pada
difteri laring terdapat stridor, suara parau, dan batuk kering, sementara pada
obstruksi laring yang besar terdapat retraksi supra sternal, subkostal, dan
supra klavikula.Pada difteri hidung terdapat pilek ringan, sekret hidung yang
serosanguinus sampai mukopurulen, dan membran putih pada septum nasi. Selain
itu, difteri hidung bila penderita menderita pilek dengan ingus yang bercampur
darah.
Difteri faring dan tonsil, terlihat
pembengkakan kelenjar leher. Juga akan tampak membran berwarna putih keabu
abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut
(faring).
Difteri kutaneus dan vaginal dengan
gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan
membran diatasnya tetapi tidak nyeri.
3.2
Diagnosa
1. Pola napas tidak efektif berhubungan
dengan Disfungsi Neuromuskular.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia
3. Resiko penyebarluasan infeksi
berhubungan dengan organisme virulen.
4. Resiko kurangnya volume cairan
berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme meningkat, intake cairan menurun).
5.
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara
menyeluruh.
3.3 Intervensi
Keperawatan
a. Pola nafas tidak efektif b/d disfungsi
neruromoskular
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama proses keperawatan diharapkan pola napas pasien kembali
normal.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Monitor
pola napas yang meliputi irama pernapasan, penggunaan otot-otot bantu napas,
suara napas, dan frekuensi napas.
|
Mengetahui apakah ada kelainan dalam pernapasan untuk
menentukan intervensi selanjutnya.
|
Berikan
oksigen sesuai advis (2-4Lt/menit). Apabila anak masih bayi atur kepala
dengan posisi ekstensi.
|
Oksigen memaksimalkan pernapasan dan perubahan
posisi dan ambulasi meningkatkan pengisian udara segmen paru berbeda sehingga
memperbaiki difusi gas.
|
Atur
posisis tidur pasien (kepala lebih tinggi)
|
Kepala lebih tinggi memungkinkan ekspansi paru dan
memudahkan pernapasan .
|
Auskultasi suara nafas, catat adanya suara nafas tambahan.
|
Suara nafas yang tidak efektif bisa menyebabkan terjadinya
obstruksi jalan nafas / kegagalan pernapasan
|
Lakukan fisioterapi dada jika perlu.
|
Memudahkan upaya pernapasan dalam dan meningkatkan
drainase secret
|
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh b/d anoreksia
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama proses keperawatan diharapkan BB stabil,pasien bebas dari tanda-tanda
malnutrisi dan pasien dapat mengumpulkan energi untuk beraktivitas kembali.
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Pastikan
diet memenuhi kebutuhan pernapasan sesuai indikasi
|
Tinggi karbohidrat, protein dan kalori dibutuhkan selama
ventilasi untuk memperbaiki fungsi otot pernapasan.
|
Catat
masukan oral saat makan dan tawarkan makanan yang disukai anak
|
Selera makan biasanya buruk dan masukan nutrisi penting
mungkin menurun. Tawaran makanan kesukaan dapat meningkatkan pemasukan
oral
|
Timbanglah
berat badan setiap hari.
|
Berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujan
berat badan dan evaluasi keadekuatan rencana nutrisi
|
Aturlah
pemberian makanan dalam porsi yang sedikit tapi sering.
|
Meningkatkan atau memaksimalkan asupan nutrisi anak
|
Libatkan
orang tua dalam pemberian makanan.
|
Membantu dalam memenuhi asupan nutrisi anak, karena
biasanya orang tua tahu cara yang tepat agar anaknya mau makan
|
c. Resiko penyebarluasan infeksi berhubungan dengan
organisme virulen.
Tujuan
:
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama proses keperawatan diharapkan resiko infeksi tidak terjadi
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Observasi TTV klien
|
Demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi
|
Turunkan faktor resiko nosokomial melalui cuci tangan yang
tepat pada semua perawat
|
Faktor ini paling sederhana tetapi paling paling penting
untuk mencegah infeksi di rumah sakit
|
Anjurkan keluarga klien untuk menyiapkan wadah sekali
pakai untuk sputum, contohnya tissue
|
Menurunkan transmisi organisme melalui cairan
|
Pertahankan hidrasi adekuat dan nutrisi
|
Membantu memperbaiki tahanan umum untuk penyakit dan
menurunkan resiko infeksi
|
Berikan antimikrobial sesuai indikasi
|
Satu atau lebih agen dapat digunakan tergantung pada
identifikasi patogen bila infeksi terjadi
|
d. Resiko
kurangnya volume cairan berhubungan dengan proses penyakit (metabolisme
meningkat, intake cairan menurun).
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama proses keperawatan diharapkan resiko kurangnya volume cairan
tidak terjadi
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Observasi tanda vital
|
Peningkatan suhu, memanjangnya demam dan meningkatkan laju
metabolik dan kehilangan cairan melalui evaporasi. Peningkatan takikardia
menunjukkan kekurangan cairan sistemik
|
Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa ( bibir,
lidah )
|
Indikator langsung keadekuatan volume cairan meskipun
membran mukosa mulut mungkin kering karena napas mulut dan oksigen tambahan
|
Pantau masukan dan keluaran cairan
|
Memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan
kebutuhan pengganti
|
Tekankan masukan cairan yang optimal setiap harinya atau
sesuai kondisi individual
|
Memenuhi kebutuhan dasar cairan dan menurunkan resiko
dehidrasi
|
e. Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan kelemahan secara menyeluruh.
Tujuan :
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama proses keperawatan diharapkan klien dapat beraktifitas
sebagaimana mestinya
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
Evaluasi respon klien terhadap aktifitas. Catat laporan
dispnea, peningkatan kelemahan perubahan tanda vital selama dan setelah aktifitas
|
Menetapkan kemampuan dan kebutuhan pasien dan memudahkan
pilihan intervensi
|
Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengujung
|
Menurunkan stress dan rangsanga berlebihan, meningkatkan
istirahat
|
Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan
perlunya keseimbangan aktifitas dan istirahat
|
Pembatasan aktifitas ditentukan dengan respon individual
pasien terhadap aktifitas dan kegagalan pernapasan
|
Bantu aktifitas perawatan diri yang diperlukan
|
Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan suplai
dan kebutuhan oksigen
|
3.4 Evaluasi
1. Pola napas anak kembali normal.
2. BB stabil, pasien bebas dari
tanda-tanda malnutrisi dan anak dapat mengumpulkan energi untuk beraktivitas
kembali.
3. Resiko infeksi tidak terjadi
4. Resiko kurangnya volume cairan tidak
terjadi
5. Masalah intoleransi aktifitas
teratasi, serta anak dapat beraktifitas sebagaimana mestinya
BAB
4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Difteri merupakan penyakit menular yang sangat berbahaya pada anak
anak.Penyakit ini mudah menular dan menyerang terutama daerah saluran
pernafasan bagian atas.Untuk menguji apakah tubuh mengandung antitoksin
terhadap kuman difteria dilakukan uji kulit yang disebut Uji Shick.
Masa inkubasi terjadi 2-7 hari.Gejala umum demam, lesu, pucat, nyeri
kepala, anorexia. Gejala lokal neri telan, bengkak pada leher. Kelenjar
regional sesak nafas, serak sampai stridor.Bila menyerang otot jantung dapat
terjadi miokarditis dan bila mengenai syaraf dapat terjadi kelumpuhan.Difteri
dapat dicegah dengan imunisasi DPT dan isolasi bagi penderita difteri.
4.2 Saran
Penyakit difteri rentan menyerang anak-anak dan perlu penanganan
yang cermat dan tepat. Terutama asuhan keperawatan yang efektif dapat
mempercepat proses penyembuhan penyakit difteri.
DAFTAR
PUSTAKA
Arif
Manjoer, Suproharto. 2000. Ilmu Kesehatan Anak. EGC : Jakarta
Merdjani,A., dkk. 2003. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Badan
Penerbit IDAI: Jakarta
Nelson. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Bagian II. Penerbit Buku Kedokteran EGC : Jakarta
Rusepno Hasan, dkk. 2005. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.Jilid II. Hal 568-72. Cetakan Kesebelas.
Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar