BAB 1
KONSEP
LANJUT USIA (LANSIA)
1.1 Pengertian
Lanjut Usia adalah periode penutup
dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun
sampai meninggal, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan
psikologis yang semakin menurun. Proses menua (lansia) adalah proses alami yang
disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling
berinteraksi satu sama lain (Nugroho, 2000).
1.2 Proses Menua
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap ahir
perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi Anna Keliat,1999). Sedangkan
menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan
dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih
dari 60 tahun.Usia lanjut adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari
(Azwar, 2006).
Menua atau menjadi
tua adalah suatu
keadaaan yang terjadi didalam kehidupan
manusia. Proses menua
merupakan proses sepanjang hidup,
tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak
permulaan kehidupan. Menjadi
tua merupakan proses alamiah, yang
berarti seseorang telah
melalui tiga tahap kehidupannya, yaitu
anak, dewasa dan
tua. Tiga tahap
ini berbeda, baik secara
biologis maupun psikologis.
Memasuki usia tua
berarti mengalami
kemunduran, misalnya kemunduran
fisik yang ditandai dengan kulit
yang mengendur, rambut
memutih, gigi mulai
ompong, pendengaran kurang jelas,
pengelihatan semakin memburuk,
gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2006).
Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan
dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang
berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005).
WHO dan Undang-Undang
Nomor 13 Tahun
1998 tentang kesejahteraan lanjut
usia pada Bab
1 Pasal 1
Ayat 2 menyebutkan bahwa usia
60 tahun adalah
usia permulaan tua. Menua
bukanlah suatu penyakit, tetapi
merupakan proses yang
berangsur-angsur mengakibatkan
perubahan kumulatif, merupakan
proses menurunya daya tahan
tubuh dalam menghadapi
rangsangan dari dalam
dan luar tubuh.
1.3 Klasifikasi Lansia
Menurut WHO dan Undang-Undang No 13 Tahun 1998
menjelaskan lansia adalah sesorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut
WHO dalam (Nugroho, 2000) lanjut usia meliputi:
a.Usia pertengahan ( middle age), ialah kelompok usia
45 tahun sampai 59 tahun.
b.Lanjut usia (ederly), antara 60 tahun –74 tahun.
c.Lanjut usia ( old), antara 75 tahun –90 tahun.
d.Usia sangat tua ( very old), diatas 90 tahun.
Berdasarkan Smith dan Smith dalam (Tamher &
Noorkhasiani, 2009) menggolongkan usia lanjut menjadi tiga, yaitu :
a. young old
(65-74 tahun)
b. middle old (
75-84 tahun); dan
c. old ( lebih
dari 85 tahun).
Setyonegoro dalam (Tamher & Noorkhasiani, 2009)
menyebutkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah
a. orang yang
berusia lebih 65 tahun
b. selanjutnya
terbagi dalam usia 70 –75 tahun ( young old)
c. 75–80 tahun
( old ), dan
d. lebih dari
80 tahun ( very old ).
1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan dan penyakit
yang sering terjadi pada lansia di antaranya hereditas, atau keturunan genetik,
nutrisi atau makanan, status kesehatan, pengalaman hidup,lingkungandan stress
(Santoso, 2009).
1.5 Karakteristik Lansia
Menurut Keliat (1999) dalam Maryam
(2008), lansia memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Berusia lebih dari 60
tahun (sesuai dengan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 13 tentang kesehatan).
2. Kebutuhan dan masalah
yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial
sampai spiritual, serta dari kondisi adaftif hingga kondisi maladaptif.
3. Lingkungan tempat
tinggal yang bervariasi (Maryam, 2008).
1.6 Tipe Lansia
Di zaman sekarang (zaman
pembangunan), banyak ditemukan bermacam-macam tipe usia lanjut. Yang menonjol
antara lain:
1.
Tipe arif bijaksana
Lanjut usia ini kaya dengan hikmah pengalaman,
menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai diri dengan perubahan
zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan,
memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2.
Tipe mandiri
Lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang hilang
dengan kegiatan baru, selektif dalam mencari pekerjaan dan teman pergaulan,
serta memenuhi undangan.
3.
Tipe tidak puas
Lanjut usia yang selalu mengalami konflik lahir batin,
menentang proses penuaan, yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan
daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi,
pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani dan
pengkritik.
4.
Tipe pasrah
Lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu nasib
baik, mempunyai konsep habis (“habis gelap datang terang”), mengikuti kegiatan
beribadat, ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.
5.
Tipe bingung
Lansia yang kagetan, kehilangan kepribadian,
mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh (Nugroho,
2008).
Mangkunegoro IV dalam surat
Werdatama, yang dikutip oleh H.I. Widyapranata menyebutkan bahwa orang tua
(lanjut usia) dalam literatur lama (Jawa) dibagi dua golongan, yaitu:
1.
Wong Sepuh
orang tua
yang sepi hawa nafsu, menguasai ilmu “Dwi Tunggal”, yakni mampu membedakan antara baik dan buruk, sejati dan
palsu, Gusti (Tuhan) dan kawulanya atau hambanya
2.
Wong Sepah
lanjut usia yang kosong, tidak tahu rasa, bicaranya
muluk - muluk tanpa isi, tingkah lakunya dibuat-buat dan berlebihan, serta
memalukan. Hidupnya menjadi hambar (kehilangan dinamika dan romantika hidup).
1.7 Teori-teori proses penuaan
Teori-teori yang mendukung terjadinya proses penuaan,
antara lain: teori biologis,
teori kejiwaansosial, teori psikologis, teori
kesalahan genetik, dan teori penuaan akibat metabolisme (Santoso, 2009).
a)
Teori Biologis
Teori biologis tentang penuaan dapat dibagi menjadi
teori intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik berarti perubahan yang timbul akibat
penyebab di dalam sel sendiri, sedang teori ekstrinsik menjelaskan bahwa
penuaan yang terjadi diakibatkan pengaruh lingkungan.
1) Teori
Genetik Clock
Menurut
teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Tiap
spesies di dalam inti selnya mempunyai suatu jam genetik yang telah diputar
menurut suatu replikasi tertentu dan akan menghitung mitosis. Jika jam ini
berhenti, maka spesies akan meninggal dunia.
2) Teori Mutasi
Somatik (ErrorCatastrophe Theory)
Penuaan
disebabkan oleh kesalahan yang beruntun dalam jangka waktu yang lama melalui
transkripsi dan translasi. Kesalahan tersebut menyebabkan terbentuknya enzim
yang salah dan berakibat pada metabolisme yang salah, sehingga mengurangi
fungsional sel.
3) Teori
Autoimun (Auto Immune Theory)
Menurut
teori ini proses metabolisme tubuh suatu saat akan memproduksi zat khusus. Ada
jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap suatu zat, sehingga jaringan
tubuh menjadi lemah dan sakit.
4) Teori
Radikal Bebas
Menurut
teori ini penuaan disebabkan adanya radikal bebas dalam tubuh.
5) Teori
Pemakaian dan Rusak
Kelebihan
usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah (rusak).
6) Teori Virus
Perlahan-Lahan
Menyerang Sistem Sistem Kekebalan Tubuh (Immunology Slow Virus Theory). Menurut
teori ini penuaan terjadi sebagai akibat dari sistem imun yang kurang efektif
seiring dengan bertambahnya usia.
7) Teori Stres
Menurut
teori ini penuaan terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan oleh
tubuh.
8) Teori Rantai
Silang
Menurut
teori ini penuaan terjadi sebagai akibat adanya reaksi kimia sel-sel yang tua
atau yang telah usang menghasilkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan
kolagen.
9) Teori
Program
Menurut
teori ini penuaan terjadi karena kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah
sel yang membelah sel-sel tersebut mati.
b)
Teori Kejiwaan Sosial
1) Aktivitas
atau Kegiatan (Activity Theory)
Menurut
Havigusrst dan Albrecht (1953) berpendapat bahwa sangat penting bagi lansia
untuk tetap beraktifitas dan mencapai kepuasan.
2) Teori
Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)Perubahan yang terjadi pada lansia
sangat dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang dimiliki.
3) Teori
Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya
usia, seseorang berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan
sosialnya.
c)
Teori Psikologi
Teori-teori psikologi dipengaruhi juga oleh biologi
dan sosiologi salah satu teori yang ada. Teori tugas perkembangan yang
diungkapkan oleh Hanghurst (1972) adalah bahwa setiap tugas perkembangan yang
spesifik pada tiap tahap kehidupan yang akan memberikan persaan bahagia dan
sukses. Tugas perkembangan yang spesifik ini bergantung pada maturasi fisik,
penghargaan kultural, masyarakat, nilai aspirasi individu. Tugas perkembangan
pada dewasa tua meliputi penerimaan adanya penurunan kekuatan fisik dan
kesehatan, penerimaan masa pensiun dan penurunan pendapatan, respon penerimaan
adanya kematian pasangan, serta mempertahankan kehidupan yang memuaskan.
d)
Teori Kesalahan Genetik
Proses menjadi tua ditentukan oleh kesalahan sel
genetik DNA di mana sel genetik memperbanyak diri sehingga mengakibatkan
kesalahan-kesalahan yang berakibat pula pada terhambatnya pembentukan sel
berikutnya, sehingga mengakibatkan kematian sel. Pada saat sel
mengalami kematian orang akan tampak menjadi tua.
e)
Teori Rusaknya Sistem Imun Tubuh
Mutasi yang terjadi secara berulang mengakibatkan
kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya berkurang (self recognition),
sehingga mengakibatkan kelainan pada sel karena dianggap sel asing yang membuat
hancurnya kekebalan tubuh.
1.8 Perubahan yang terjadi pada lansia
Perubahan yang terjadi pada lansia diantaranya
(Santoso, 2009):
1)
Perubahan kondisi fisik
Perubahan pada kondisi fisik pada lansia meliputi
perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh, diantaranya
sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan
tubuh, muskolosketal, gastrointestinal, urogenital, endokrin, dan integumen.
Masalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan pada lansia diantaranya lansia
mudah jatuh, mudah lelah, kekacuan mental akut, nyeri pada dada,
berdebar-debar, sesak nafas, pada saat melakukan aktifitas/kerja fisik,
pembengkakan pada kaki bawah, nyeri pinggang atau punggung, nyeri sendi
pinggul, sulit tidur, sering pusing, berat badan menurun,
gangguan pada fungsi penglihatan, pendengaran, dan sulit menahan kencing.
2) Perubahan
kondisi mental
Pada umumnya
lansia mengalami penurunann fungsi kognitif dan psikomotor. Perubahan-perubahan
ini erat sekali kaitannya dengan perubahan fisik, keadaan kesehatan, tingkat
pendidikan atau pengetahuan, dan situasi lingkungan. Dari segi mental dan
emosional sering muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan
cemas. Adanya kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu
penyakit atau takut ditelantarkan karena tidak berguna lagi. Hal ini bisa
meyebabkan lansia mengalami depresi.
3) Perubahan
psikososial
Masalah
perubahan psikososial serta reaksi individu terhadap perubahan ini sangat
beragam, bergantung pada kepribadian individu yang bersangkuatan.
4) Perubahan
kognitif
Perubahan
pada fungsi kognitif di antaranya adalah kemunduran pada tugas-tugas yang
membutuhkan kecepatan dan tugas yang memerlukan memori jangka pendek, kemampuan
intelektual tidak mengalami kemunduran, dan kemampuan verbal akan menetap bila
tidak ada penyakit yang menyertai.
5) Perubahan
spiritual
Menurut Maslow (1970), agama dan
kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupanny
1.9 Tugas Perkembangan Lansia
Menurut Erickson, kesiapan lansia
untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia
lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Adapun
tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut :
1.
Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.
2.
Mempersiapkan diri untuk pensiun.
3.
Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.
4.
Mempersiapkan kehidupan baru.
5. Melakukan
penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai.
6.
Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan (Maryam, 2008).
Tugas perkembangan lanjut usia menurut Potter dan
Perry (2005), Seiring tahap kehidupan, lansia memiliki tugas perkembangan
khusus. menurut Potter dan Perry (2005), tujuh kategori utama tugas
perkembangan lansia meliputi:
1.
Menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik dan
kesehatan
Lansia harus menyesuaikan dengan perubahan fisik
seiring terjadinya penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi. Hal
ini tidak dikaitkan dengan penyakit, tetapi hal ini adalah normal.
2.
Menyesuaikan terhadap masa pensiun dan penurunan
pendapatan
Lansia umumnya pensiun dari pekerjaan purna waktu, dan
oleh karena itu mungkin perlu untuk meyesuaikan dan membuat perubahan karena
hilangnya peran bekerja.
3.
Menyesuaikan terhadap kematian pasangan
Mayoritas lansia dihadapkan pada kematian pasangan,
teman, dan kadang anaknya. Kehilangan ini sering sulit diselesaikan, apalagi
bagi lansia yang menggantungkan hidupnya dari seseorang yang meninggalkannya
dan sangat berarti bagi dirinya.
4.
Menerima diri sendiri sebagai individu lansia
Beberapa lansia menemukan kesulitan untuk menerima
diri sendiri selama penuaan. Mereka dapat memperlihatkan ketidakmampuannya
sebagai koping dengan menyangkal penurunan fungsi, meminta cucunya untuk tidak
memanggil mereka “nenek” atau menolak meminta bantuan dalam tugas yang
menempatkan keamanan mereka pada resiko yang besar
5.
Mempertahankan kepuasan pengaturan hidup
Lansia dapat mengubah rencana kehidupannya. Misalnya
kerusakan fisik dapat mengharuskan pindah ke rumah yang lebih kecil dan untuk
seorang diri
6.
Mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa
Lansia sering memerlukan penetapan hubungan kembali
dengan anak-anaknya yang telah dewasa
7.
Menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup
Lansia harus belajar menerima akivitas dan minat baru
untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Seseorang yang sebelumnya aktif secara
sosial sepanjang hidupnya mungkin merasa relatif mudah untuk bertemu orang baru
dan mendapat minat baru. Akan tetapi, seseorang yang introvertdengan
sosialisasi terbatas, mungkin menemui kesulitan bertemu orang baru selama
pensiun.
1.10 Masalah Fisik yang Sering Ditemukan pada Lansia
Menurut Azizah (2011), masalah fisik yang sering
ditemukan pada lansia
adalah:
a.
Mudah Jatuh
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita
atau saksi mata yang melihat kejadian yang mengakibatkan seseorang mendadak
terbaring/terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa
kehilangan kesadaran atau luka
b.
Mudah Lelah
Disebabkan oleh:
a) faktor
psikologis (perasaan bosan, keletihan atau perasaan depresi)
b) gangguan
organis
c) pengaruh
obat-obat
c.
Berat Badan Menurun
Disebabkan oleh:
a)
Pada umumnya nafsu makan menurun karena kurang gairah
hidup atau kelesuan
b)
Adanya penyakit kronis
c)
Gangguan pada saluran pencernaan sehingga penyerapan
makanan terganggu
d)
Faktor-faktor sosioekonomis (pensiun)
Disebabkan oleh:
a)
Obat-obat pencahar perut
b)
Keadaan diare
c)
Kelainan pada usus besar
d)
Kelainan pada ujung saluran pencernaan (pada rektum
usus)
e.
Gangguan pada Ketajaman Penglihatan
Disebabkan oleh:
a)
Presbiop
b)
Kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang)
c)
Kekeruhan pada lensa (katarak)
d) Tekanan
dalam mata yang meninggi (glaukoma)
BAB 2
KONSEP TEORI
OSTEOARTRITIS
2.1 Pengertian
Osteoartritis adalah penyakit
peradangan sendi yang sering muncul pada usia lanjut. Jarang dijumpai pada usia
dibawah 40 tahun dan lebih sering dijumpai pada usia diatas 60 tahun.
Osteoartritis yang dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau
osteoartrosis (sekalipun terdapat inflamasi) merupakan kelainan sendi yang
paling sering ditemukan dan kerapkali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas).
(Smeltzer , C Suzanne, 2002 hal 1087)
Osteoartritis merupakan golongan
rematik sebagai penyebab kecacatan yang menduduki urutan pertama dan akan
meningkat dengan meningkatnya usia, penyakit ini jarang ditemui pada usia di
bawah 46 tahun tetapi lebih sering dijumpai pada usia di atas 60 tahun. Faktor
umur dan jenis kelamin menunjukkan adanya perbedaan frekuensi (Sunarto, 1994,
Solomon, 1997).
Penyakit Sendi Degeneratif
(osteoarthritis) adalah penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang
lambat dan penyebabnya belum diketahui (Kalim, IPD,1997). Atau gangguan pada
sendi yang bergerak ( Price & Wilson,1995).
Osteoarthritis yang juga dikenal
sebagai penyakit sendi degeneratif atau osteoarthritis (sekalipun terdapat
inflamasi) merupakan kelainan sendi yang paling sering ditemukan dan kerapkali
menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas).
Sedangkan menurut Harry Isbagio
& A. Zainal Efendi (1995) osteoartritis merupakan kelainan sendi non
inflamasi yang mengenai sendi yang dapat digerakkan, terutama sendi penumpu
badan, dengan gambaran patologis yang karakteristik berupa buruknya tulang rawan
sendi serta terbentuknya tulang-tulang baru pada sub kondrial dan tepi-tepi
tulang yang membentuk sendi, sebagai hasil akhir terjadi perubahan biokimia,
metabolisme, fisiologis dan patologis secara serentak pada jaringan hialin
rawan, jaringan subkondrial dan jaringan tulang yang membentuk persendian. (R.
Boedhi Darmojo & Martono Hadi ,1999)
2.2 Klasifikasi
Osteoartritis diklasifikasikan menjadi :
1.
Tipe primer (idiopatik) tanpa kejadian atau penyakit
sebelumnya yang berhubungan dengan osteoartritis
2.
Tipe sekunder seperti akibat trauma, infeksi dan
pernah fraktur (Long, C Barbara, 1996 hal 336)
2.3 Etiologi
Penyebab dari osteoartritis hingga saat ini masih
belum terungkap, namun beberapa faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis
antara lain adalah :
1. Umur.
Dari semua
faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan adalah yang
terkuat. Prevalensi dan beratnya orteoartritis semakin meningkat dengan
bertambahnya umur. Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada
umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun. Perubahan fisis dan
biokimia yang terjadi sejalan dengan bertambahnya umur dengan penurunan jumlah
kolagen dan kadar air, dan endapannya berbentuk pigmen yang berwarna kuning.
2. Jenis
Kelamin.
Wanita lebih
sering terkena osteoartritis lutut dan sendi , dan lelaki lebih sering terkena
osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keeluruhan dibawah 45
tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki dan wanita tetapi
diatas 50 tahun frekuensi oeteoartritis lebih banyak pada wanita dari pada pria
hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis.
3. Genetic
Faktor
herediter
juga berperan pada timbulnya osteoartritis missal, pada ibu dari seorang wanita
dengan osteoartritis pada sendi-sendi inter falang distal terdapat dua kali
lebih sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya
perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibu dan anak
perempuan dari wanita tanpa osteoarthritis. Heberden node merupakan salah satu
bentuk osteoartritis yang biasanya ditemukan pada pria yang kedua orang tuanya
terkena osteoartritis, sedangkan wanita, hanya salah satu dari orang tuanya
yang terkena.
4. Suku.
Prevalensi
dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis nampaknya terdapat perbedaan
diantara masing-masing suku bangsa, misalnya osteoartritis paha lebih jarang
diantara orang-orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia. Osteoartritis
lebih sering dijumpai pada orang – orang Amerika asli dari pada orang kulit putih.
Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada
frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
5. Kegemukan
Berat badan
yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya
osteoartritis baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya
berkaitan dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga
dengan osteoartritis sendi lain (tangan atau sternoklavikula).
6. Cedera sendi
pekerjaan
dan olah raga (trauma) Kegiatan fisik yang dapat menyebabkan osteoartritis
adalah trauma yang menimbulkan kerusakan pada integritas struktur dan
biomekanik sendi tersebut.
7. Kepadatan
tulang dan pengausan (wear and tear)
Pemakaian
sendi yang berlebihan secara teoritis dapat merusak rawan sendi melalui dua
mekanisme yaitu pengikisan dan proses degenerasi karena bahan yang harus
dikandungnya.
8. Akibat
penyakit radang sendi lain
Infeksi
(artritis rematord; infeksi akut, infeksi kronis) menimbulkan reaksi peradangan
dan pengeluaran enzim perusak matriks rawan sendi oleh membran sinovial dan
sel-sel radang.
9. Joint
Mallignment
Pada
akromegali karena pengaruh hormon pertumbuhan, maka rawan sendi akan membal dan
menyebabkan sendi menjadi tidak stabil / seimbang sehingga mempercepat proses
degenerasi.
10. Penyakit
endokrin
Pada
hipertiroidisme, terjadi produksi air dan garam-garam proteglikan yang
berlebihan pada seluruh jaringan penyokong sehingga merusak sifat fisik rawan
sendi, ligamen, tendo, sinovia, dan kulit. Pada diabetes melitus, glukosa akan
menyebabkan produksi proteaglikan menurun.
11. Deposit pada
rawan sendi
Hemokromatosis, penyakit Wilson,
akronotis, kalsium pirofosfat dapat mengendapkan hemosiderin, tembaga polimer,
asam hemogentisis, kristal monosodium urat/pirofosfat dalam rawan sendi.
2.4 Tanda dan Gejala Klinis
Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa
keluhan-keluhan yang dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang
secara perlahan Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA :
a.
Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama
pasien. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan
istirahat. Beberapa gerakan dan tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri
yang melebihi gerakan lain. Perubahan ini dapat ditemukan meski OA masih
tergolong dini ( secara radiologis ). Umumnya bertambah berat dengan semakin
beratnya penyakit sampai sendi hanya bias digoyangkan dan menjadi kontraktur,
Hambatan gerak dapat konsentris ( seluruh arah gerakan ) maupun eksentris (
salah satu arah gerakan saja ) ( Soeroso, 2006 )..
Kartilago tidak mengandung serabut
saraf dan kehilangan kartilago pada sendi tidak diikuti dengan timbulnya nyeri.
Sehingga dapat diasumsikan bahwa nyeri yang timbul pada OA berasal dari luar
kartilago (Felson, 2008).
Pada penelitian dengan menggunakan
MRI, didapat bahwa sumber dari nyeri yang timbul diduga berasal dari peradangan
sendi ( sinovitis ), efusi sendi, dan edema sumsum tulang ( Felson, 2008).
Osteofit merupakan salah satu
penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit tumbuh, inervasi neurovaskular
menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan menuju ke osteofit yang
sedang berkembang Hal ini menimbulkan nyeri (Felson, 2008).
Nyeri dapat timbul dari bagian di
luar sendi, termasuk bursae di dekat sendi. Sumber nyeri yang umum di lutut
adalah aakibat dari anserine bursitis dan sindrom iliotibial band (Felson,
2008).
b.
Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara
perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri( Soeroso, 2006 ).
c.
Kaku pagi
Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien
berdiam diri atau tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau
mobil dalam waktu yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari(
Soeroso, 2006 ).
d.
Krepitasi
Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi
yang sakit. Gejala ini umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya
berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau
dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat
terdengar hingga jarak tertentu (Soeroso, 2006)..
e.
Pembesaran sendi ( deformitas )
Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar (
Soeroso, 2006 ).
f.
Pembengkakan sendi yang asimetris
Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi
efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya
osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi berubah ( Soeroso, 2006 ).
g.
Tanda – tanda peradangan
Tanda–tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri
tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat
dijumpai pada OA karena adanya synovitis. Biasanya tanda – tanda ini tidak
menonjol dan timbul pada perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala ini
sering dijumpai pada OA lutut ( Soeroso, 2006 ).
h.
Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien
dan merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada
pasien lanjut usia. Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi
tumpuan berat badan terutama pada OA lutut ( Soeroso, 2006 ).
2.5 Patofisiologi
Penyakit sendi
degeneratif merupakan suatu
penyakit kronik, tidak meradang, dan progresif lambat, yang
seakan-akan merupakan proses penuaan, rawan
sendi mengalami kemunduran
dan degenerasi disertai
dengan pertumbuhan tulang baru pada bagian tepi sendi.
Proses degenerasi ini disebabkan
oleh proses pemecahan kondrosit yang merupakan unsur penting rawan sendi.
Pemecahan tersebut diduga diawali oleh stress biomekanik tertentu. Pengeluaran
enzim lisosom menyebabkan dipecahnya polisakarida protein yang membentuk
matriks di sekeliling kondrosit sehingga mengakibatkan kerusakan tulang rawan.
Sendi yang paling sering terkena adalah sendi yang harus menanggung berat
badan, seperti panggul lutut dan kolumna vertebralis. Sendi interfalanga distal
dan proksimasi.
Osteoartritis pada beberapa kejadian akan mengakibatkan terbatasnya gerakan. Hal ini disebabkan oleh
adanya rasa nyeri yang dialami atau diakibatkan penyempitan ruang sendi atau
kurang digunakannya sendi tersebut.
Perubahan-perubahan degeneratif yang
mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu misalnya cedera sendi infeksi
sendi deformitas congenital dan penyakit peradangan sendi lainnya akan
menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik
sehingga menyebabkan fraktur ada ligamen atau adanya perubahan metabolisme
sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang rawan mengalami erosi dan
kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi penyempitan rongga sendi yang
menyebabkan nyeri, kaki kripitasi, deformitas, adanya hipertropi atau nodulus.
( Soeparman ,1995).
2.6 Pemeriksaan Diagnostik
Pada penderita OA, dilakukannya
pemeriksaan radiografi pada sendi yang terkena sudah cukup untuk memberikan
suatu gambaran diagnostik ( Soeroso, 2006 ). Gambaran Radiografi sendi yang
menyokong diagnosis OA adalah :
a. Penyempitan
celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada bagian yang menanggung
beban seperti lutut ).
b. Peningkatan
densitas tulang subkondral ( sklerosis ).
c. Kista pada
tulang
d. Osteofit
pada pinggir sendi
e. Perubahan
struktur anatomi sendi.
Berdasarkan temuan-temuan
radiografis diatas, maka OA dapat diberikan suatu derajat. Kriteria OA berdasarkan
temuan radiografis dikenal sebagai kriteria Kellgren dan Lawrence yang membagi
OA dimulai dari tingkat ringan hingga tingkat berat. Perlu diingat bahwa pada
awal penyakit, gambaran radiografis sendi masih terlihat normal ( Felson, 2006
).
2.7 Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada
OA biasanya tidak banyak berguna. Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas –
batas normal. Pemeriksaan imunologi masih dalam batas – batas normal. Pada OA
yang disertai peradangan sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel peradangan
( < 8000 / m ) dan peningkatan nilai protein (Soeroso, 2006 ).
2.8 Penatalaksanaan Osteoartritis
Pengeloaan OA berdasarkan atas sendi yang terkena dan
berat ringannya OA yang diderita ( Soeroso, 2006 ). Penatalaksanaan OA terbagi
atas 3 hal, yaitu :
1.
Terapi non-farmakologis
a.
Edukasi
Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan
agar pasien dapat mengetahui serta memahami tentang penyakit yang dideritanya,
bagaimana agar penyakitnya tidak bertambah semakin parah, dan agar
persendiaanya tetap terpakai ( Soeroso, 2006 ).
b.
Terapi fisik atau rehabilitasi
Pasien dapat mengalami kesulitan berjalan akibat rasa
sakit. Terapi ini dilakukan untuk melatih pasien agar persendianya tetap dapat
dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit. ( Soeroso, 2006
).
c.
Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang
memperberat OA. Oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga agar tidak
berlebih dan diupayakan untuk melakukan penurunan berat badan apabila berat
badan berlebih ( Soeroso, 2006 ).
2.
Terapi farmakologis
Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan
rasa nyeri yang timbul, mengoreksi gangguan yang timbul dan mengidentifikasi
manifestasi-manifestasi klinis dari ketidakstabilan sendi ( Felson, 2006 ).
a. Obat
Antiinflamasi Nonsteroid ( AINS ), Inhibitor Siklooksigenase-2 (COX-2), dan
Asetaminofen
Untuk
mengobati rasa nyeri yang timbul pada OA lutut, penggunaan obat AINS dan
Inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan asetaminofen. Namun
karena risiko toksisitas obat AINS lebih tinggi daripada asetaminofen,
asetaminofen tetap menjadi obat pilihan pertama dalam penanganan rasa nyeri
pada OA. Cara lain untuk mengurangi dampak toksisitas dari obat AINS adalah
dengan cara mengombinasikannnya dengan menggunakan inhibitor COX-2 ( Felson,
2006 ).
b. Chondroprotective
Agent
Chondroprotective
Agent adalah obat – obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan dari
kartilago pada pasien OA. Obat – obatan yang termasuk dalam kelompok obat ini
adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan,
vitamin C, dan sebagainya ( Felson, 2006 ).
3.
Terapi pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak
berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila
terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari – hari.
BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a. Riwayat Kesehatan
-
Adanya
keluhan sakit dan kekakuan pada tangan, atau pada tungkai.
-
Perasaan tidak
nyaman dalam beberapa periode/waktu sebelum pasien mengetahui dan merasakan
adanya perubahan pada sendi.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Aktivitas/istirahat
Gejala :
nyeri sendi karena pergerakan, nyeri tekan, yang memburuk dengan stress dengan
sendi, kekakuan senda pada pagi hari, biasanya terjadi secara bilateral dan
simetris.
Tanda :
malaise, keterbatasan ruang gerak, atrofi otot, kulit kontraktur atau kelainan
pada sendi dan otot.
2) Kardiovaskur
Gejala :
fenomena Raynaud jari tangan/kaki, missal pucat intermitten, sianotik kemudian
kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal
3) Integritas
ego
Gejala :
factor-faktor stress akut/kronis missal finansial, pekerjaan, ketidakmampuan,
factor-faktor hubungan social, keputusan dan ketidakberdayaan. Ancaman pada
konsep diri, citra tubuh, identitas diri missal ketergantungan pada orang lain,
dan perubahan bentuk anggota tubuh
4) Makanan /
cairan
Gejala :
ketidakmampuan untuk menghasilkan atau mengonsumsi makanan atau cairan adekuat
: mual, anoreksia, dan kesulitan untuk mengunyah.
Tanda :
penurunan berat badan, dan membrane mukosa kering.
5) Hygiene
Gejala :
berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi secara
mandiri, ketergantungan pada orang lain.
6) Neurosensory
Gejala :
kebas/ kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.
Tanda :
pembengkakan sendi simetri
7) Nyeri/kenyamanan
Gejala : fase
akut dari nyeri ( disertai / tidak disertai pembengkakan jaringan lunak pada
sendi ), rasa nyeri kronis dan kekakuan ( terutama pada pagi hari ).
8) Keamanan
Gejala :
kulit mengkilat, tegang, nodus subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki, kesulitan dalam
menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga, demam ringan menetap, kekeringan
pada mata, dan membrane mukosa.
9) Interaksi
social
Gejala :
kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain, perubahan peran, isolasi.
c. Riwayat Psiko Sosial
Pasien dengan OA mungkin merasakan
adanya kecemasan yang cukup tinggi apalagi pada pasien yang mengalami
deformitas pada sendi-sendi karean ia merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada
dirinya dan merasakan kegiatan sehari-hari menjadi berubah. Perawat dapat
melakukan pengkajian terhadap konsep diri klien khususnya aspek body image dan
harga diri klien.
3.2 Diagnosa
Keperawatan
a. Intoleransi Aktivitas b/d tirah
baring dan imobilitas, kelemahan umum, gaya hidup kurang gerak
b. Ansietas b/d ancaman atau perubahan
pada kesehatan, kebutuhan yang tidak terpenuhi
c. Gangguan citra tubuh b/d penyakit,
ditandai dengan deformitas sendi
d. Resiko jatuh b/d penurunan kekuatan
ekstremitas bawah, kelemahan umum
e. Defisiensi pengetahuan tentang
proses penyakit b/d keterbatasan kognitif, kurang familier dengan sumber-sumber
informasi
f. Nyeri b/d penyempitan rongga sendi
g. Defisit perawatan diri b/d gangguan
muskuloskeletal, kelemahan
3.3 Intervensi
Keperawatan
a. Intoleransi Aktivitas b/d tirah
baring dan imobilitas, kelemahan umum, gaya hidup kurang gerak
Kriteria
Hasil :
·
Menoleransi
aktivitas yang biasa dilakukan
·
Menunjukkan
toleransi aktivitas
·
Mendemonstrasikan
penghematan energi
Intervensi :
1) Kaji tingkat kemampuan klien
berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi.
2) Evaluasi motivasi dan keinginan
pasien untuk meningkatkan aktivitas
3) Tentukan penyebab keletihan
4) Pantau asupan nutrisi untuk
memastikan sumber-sumber energi yang adekuat
b. Ansietas b/d ancaman atau perubahan
pada kesehatan, kebutuhan yang tidak terpenuhi
Kriteria
hasil :
·
Ansietas
berkurang, dibuktikan oleh tingkat ansietas hanya ringan hingga sedang
·
Menunjukkan pengendalian
diri terhadap ansietas yang dibuktikan oleh indikator 1-5 (tidak pernah,
jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu)
Intervensi :
1) Kaji dan dokumentasikan tingkat
kecemasan pasien
2) Gali bersama pasien tentang teknik
yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan ansietas
3) Bantu pengalihan ansietas melalui
radio, TV, permainan untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus
4) Kolaborasi pemberian obat untuk
menurunkan ansietas
c. Gangguan citra tubuh b/d penyakit,
ditandai dengan deformitas sendi
Kriteria
Hasil :
· Gangguan citra tubuh berkurang yang
dibuktikan oleh selalu menunjukkan adaptasi dengan ketunadayaan fisik
· Menunjukkan citra tubuh
Intervensi :
1) Kaji dan dokumentasikan respons
verbal dan nonverbal pasien terhadap tubuh klien
2) Identifikasi mekanisme koping yang
biasa digunakan klien
3) Tentukan harapan klien tentang citra
tubuh berdasarkan tahap perkembangan
d. Resiko jatuh b/d penurunan kekuatan
ekstremitas bawah, kelemahan umum
Kriteria
Hasil :
· Resiko jatuh akan menurun atau
terbatas, yang dibuktikan oleh keseimbangan, gerakan terkoordinasi, perilaku
pencegahan jatuh, kejadian jatuh, dan pengetahuan : Pencegahan Jatuh
Intervensi :
1) Lakukan pengkajian resiko jatuh pada
pasien
2) Identifikasi karakteristik
lingkungan yang dapat meningkatkan potensi jatuh
3) Ajarkan klien bagaimana posisi
terjatuh yang dapat meminimalkan cedera
4) Bantu pasien saat ambulasi
5) Sediakan alat bantu berjalan
e. Defisiensi pengetahuan tentang
proses penyakit b/d keterbatasan kognitif, kurang familier dengan sumber-sumber
informasi
Kriteria
Hasil :
·
Mengidentifikasi
kebutuhan terhadap informasi tambahan tentang proses penyakit
Intervensi :
1) Kaji tingkat pengetahuan klien saat
ini dan pemahaman terhdapa materi
2) Tetapkan tujuan pembelajaran bersama
yang realistis dengan klien
3) Pilih metode dan strategi penyuluhan
yang sesuai
4) Beri waktu pada klien untuk mengajukan
pertanyaan dan mendiskusikan permasalahannya
f. Nyeri b/d penyempitan rongga sendi
Kriteria
Hasil :
·
Melaporkan
nyeri dapat dikendalikan
·
Menunjukkan
pengurangan tingkat nyeri
Intevensi :
1) Kaji tingkat nyeri
2) Ajarkan penggunaan teknik non
farmakologis pengendalian nyeri setelah atau selama aktivitas yang menimbulkan
nyeri
3) Kolaborasi pemberian analgesik untuk
mengurangi nyeri (berat)
4) Kendalikan faktor lingkungan yang
memengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan
g. Defisit perawatan diri b/d gangguan
muskuloskeletal, kelemahan
Kriteria
Hasil :
·
Menunjukkan
perawatan diri : Aktivitas kehidupan sehari-hari dapat terpenuhi
Intervensi :
1) Kaji kemampuan personal hygiene
2) Pantau adanya perubahan kemampuan fungsi
3) Dukung kemandirian klien dalam personal hygiene, bantu
klien hanya jika diperlukan
4) Libatkan keluarga dalam pemberian asuhan
5) Akomodasi pilihan dan kebutuhan klien seoptimal
mungkin
DAFTAR
PUSTAKA
Maslow, A.
H., 1970, Motivation and Personality, Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo
Maryam, S
dkk 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba Medika. Jakarta
Nugroho. W.
(2000). Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta. EGC
Nugroho,
W.H. (2006). Komunikasi Dalam Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC
Nugroho. W.
(2008). Keperawatan Gerontikdan Geriatri. (Edisi 3) Jakarta : EGC
Azizah,
Lilik Ma’ rifatul, (2011).Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Yogyakarta :
GrahaIlmu
Tamher, S. Noorkasiani,
(2011). Kesehatan Lanjut Usia dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta :
Salemba Medika
Potter, P.A,
Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan
Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata Komalasari,dkk.Jakarta:EGC.2005
Potter, P.A,
Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, Dan
Praktik.Edisi 4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk. Jakarta : EGC.2005
Budiana keliat (1999).
Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta, EGC
Azwar,
Saifudin, (2006), Reliabilitas dan Validitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hutapea,
A.M. (2005). Keajaiban Dalam Tubuh Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hardywinoto,
Setiabudi, T., 1999.Panduan Gerontologi Tinjauan dari berbagai Aspek. Jakarta:
PT Gramedia
Constantinides.
P. The commonest causes of anoxic necrosis. Dalam : General Pathobiology.
Norwalk Connecticut : Appleton & Lange. 1994
Darmojo
Boedi. Martono Hadi. Geriatri. Balai Penerbit FKUI.Jakarta. 1999. 242
Tjokronegoro,
Arjatmo dan Hendra Utama. 1996. Pemeriksaan Hematologi Sederhana. FKUI:
Jakarta.
Tehupeiory,
Edu. 2000. “Perkembangan Mutakhir OA Patogenesis, Diagnosis & Tatalaksana”
Wijayakusuma,
H. (2006). Atasi Asam Urat dan Reumatik ala Hembing. Jakarta: Puspa Swara. Hal.
46
Sustrani,
Lanny, dkk. 2004. Asam Urat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka.
Smeltzer,
Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Suherman S.
2010. Asam urat, Penyakit dan pengobatannya
Ahmad,
Nablory. 2011. Cara Mencegah dan Mengobati Asam Urat dan Hipertensi. Jakarta:
Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar