Rabu, 28 Oktober 2015

Askep Lansia Dengan Osteoatritis



BAB 1
KONSEP LANJUT USIA (LANSIA)

1.1  Pengertian
Lanjut Usia adalah periode penutup dalam rentang hidup seseorang. Masa ini dimulai dari umur enam puluh tahun sampai meninggal, yang ditandai dengan adanya perubahan yang bersifat fisik dan psikologis yang semakin menurun. Proses menua (lansia) adalah proses alami yang disertai adanya penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial yang saling berinteraksi satu sama lain (Nugroho, 2000).

1.2  Proses Menua
Usia lanjut dikatakan sebagai tahap ahir perkembangan pada daur kehidupan manusia (Budi Anna Keliat,1999). Sedangkan menurut pasal 1 ayat (2), (3), (4) No. 13 Tahun 1998 tentang Kesehatan dikatakan bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60 tahun.Usia lanjut adalah suatu proses alami yang tidak dapat dihindari (Azwar, 2006).
Menua  atau  menjadi  tua  adalah  suatu  keadaaan  yang  terjadi didalam   kehidupan  manusia.  Proses  menua  merupakan  proses sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu, tetapi dimulai  sejak  permulaan  kehidupan.  Menjadi  tua  merupakan  proses alamiah,  yang  berarti  seseorang  telah  melalui  tiga  tahap kehidupannya,  yaitu  anak,  dewasa  dan  tua.  Tiga  tahap  ini  berbeda, baik  secara  biologis  maupun  psikologis.  Memasuki  usia  tua  berarti mengalami  kemunduran,  misalnya  kemunduran  fisik  yang  ditandai dengan  kulit  yang  mengendur,  rambut  memutih,  gigi  mulai  ompong, pendengaran  kurang  jelas,  pengelihatan  semakin  memburuk,  gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2006).
Usia lanjut adalah sesuatu yang harus diterima sebagai suatu kenyataan dan fenomena biologis. Kehidupan itu akan diakhiri dengan proses penuaan yang berakhir dengan kematian (Hutapea, 2005).
WHO  dan  Undang-Undang  Nomor  13  Tahun  1998  tentang kesejahteraan  lanjut  usia  pada  Bab  1  Pasal  1  Ayat  2  menyebutkan bahwa  usia  60  tahun  adalah  usia permulaan  tua.  Menua  bukanlah suatu  penyakit,  tetapi  merupakan  proses  yang  berangsur-angsur mengakibatkan  perubahan  kumulatif,  merupakan  proses  menurunya daya  tahan  tubuh  dalam  menghadapi  rangsangan  dari  dalam  dan  luar tubuh.

1.3  Klasifikasi Lansia
Menurut WHO dan Undang-Undang No 13 Tahun 1998 menjelaskan lansia adalah sesorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Menurut WHO dalam (Nugroho, 2000) lanjut usia meliputi:
a.Usia pertengahan ( middle age), ialah kelompok usia 45 tahun sampai 59 tahun.
b.Lanjut usia (ederly), antara 60 tahun –74 tahun.
c.Lanjut usia ( old), antara 75 tahun –90 tahun.
d.Usia sangat tua ( very old), diatas 90 tahun.

Berdasarkan Smith dan Smith dalam (Tamher & Noorkhasiani, 2009) menggolongkan usia lanjut menjadi tiga, yaitu :
a.       young old (65-74 tahun)
b.      middle old ( 75-84 tahun); dan
c.       old ( lebih dari 85 tahun).

Setyonegoro dalam (Tamher & Noorkhasiani, 2009) menyebutkan bahwa yang disebut lanjut usia adalah
a.       orang yang berusia lebih 65 tahun
b.      selanjutnya terbagi dalam usia 70 –75 tahun ( young old)
c.       75–80 tahun ( old ), dan
d.      lebih dari 80 tahun ( very old ).

1.4  Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan
Faktor-faktor yang mempengaruhi penuaan dan penyakit yang sering terjadi pada lansia di antaranya hereditas, atau keturunan genetik, nutrisi atau makanan, status kesehatan, pengalaman hidup,lingkungandan stress (Santoso, 2009).

1.5  Karakteristik Lansia
Menurut Keliat (1999) dalam Maryam (2008), lansia memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.  Berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 Ayat (2) UU No. 13 tentang kesehatan).
2.  Kebutuhan dan masalah yang bervariasi dari rentang sehat sampai sakit, dari kebutuhan biopsikososial sampai spiritual, serta dari kondisi adaftif hingga kondisi maladaptif.
3.  Lingkungan tempat tinggal yang bervariasi (Maryam, 2008).

1.6  Tipe Lansia
Di zaman sekarang (zaman pembangunan), banyak ditemukan bermacam-macam tipe usia lanjut. Yang menonjol antara lain:
1.      Tipe arif bijaksana
Lanjut usia ini kaya dengan hikmah pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman, mempunyai diri dengan perubahan zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana, dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.
2.      Tipe mandiri
Lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan baru, selektif dalam mencari pekerjaan dan teman pergaulan, serta memenuhi undangan.
3.      Tipe tidak puas
Lanjut usia yang selalu mengalami konflik lahir batin, menentang proses penuaan, yang menyebabkan kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasmani, kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani dan pengkritik.
4.      Tipe pasrah
Lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu nasib baik, mempunyai konsep habis (“habis gelap datang terang”), mengikuti kegiatan beribadat, ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.
5.      Tipe bingung
Lansia yang kagetan, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak acuh (Nugroho, 2008).

Mangkunegoro IV dalam surat Werdatama, yang dikutip oleh H.I. Widyapranata menyebutkan bahwa orang tua (lanjut usia) dalam literatur lama (Jawa) dibagi dua golongan, yaitu:
1.    Wong Sepuh
orang tua yang sepi hawa nafsu, menguasai ilmu “Dwi Tunggal”, yakni mampu  membedakan antara baik dan buruk, sejati dan palsu, Gusti (Tuhan) dan kawulanya atau hambanya
2.    Wong Sepah
lanjut usia yang kosong, tidak tahu rasa, bicaranya muluk - muluk tanpa isi, tingkah lakunya dibuat-buat dan berlebihan, serta memalukan. Hidupnya menjadi hambar (kehilangan dinamika dan romantika hidup).

1.7  Teori-teori proses penuaan
Teori-teori yang mendukung terjadinya proses penuaan, antara lain: teori biologis,
teori kejiwaansosial, teori psikologis, teori kesalahan genetik, dan teori penuaan akibat metabolisme (Santoso, 2009).
a)      Teori Biologis
Teori biologis tentang penuaan dapat dibagi menjadi teori intrinsik dan ekstrinsik. Intrinsik berarti perubahan yang timbul akibat penyebab di dalam sel sendiri, sedang teori ekstrinsik menjelaskan bahwa penuaan yang terjadi diakibatkan pengaruh lingkungan.
1)      Teori Genetik Clock
Menurut teori ini menua telah terprogram secara genetik untuk spesies tertentu. Tiap spesies di dalam inti selnya mempunyai suatu jam genetik yang telah diputar menurut suatu replikasi tertentu dan akan menghitung mitosis. Jika jam ini berhenti, maka spesies akan meninggal dunia.
2)      Teori Mutasi Somatik (ErrorCatastrophe Theory)
Penuaan disebabkan oleh kesalahan yang beruntun dalam jangka waktu yang lama melalui transkripsi dan translasi. Kesalahan tersebut menyebabkan terbentuknya enzim yang salah dan berakibat pada metabolisme yang salah, sehingga mengurangi fungsional sel.
3)      Teori Autoimun (Auto Immune Theory)
Menurut teori ini proses metabolisme tubuh suatu saat akan memproduksi zat khusus. Ada jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap suatu zat, sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit.
4)      Teori Radikal Bebas
Menurut teori ini penuaan disebabkan adanya radikal bebas dalam tubuh.

5)      Teori Pemakaian dan Rusak
Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel-sel tubuh lelah (rusak).
6)      Teori Virus
Perlahan-Lahan Menyerang Sistem Sistem Kekebalan Tubuh (Immunology Slow Virus Theory). Menurut teori ini penuaan terjadi sebagai akibat dari sistem imun yang kurang efektif seiring dengan bertambahnya usia.
7)      Teori Stres
Menurut teori ini penuaan terjadi akibat hilangnya sel-sel yang biasa digunakan oleh tubuh.
8)      Teori Rantai Silang
Menurut teori ini penuaan terjadi sebagai akibat adanya reaksi kimia sel-sel yang tua atau yang telah usang menghasilkan ikatan yang kuat, khususnya jaringan kolagen.
9)      Teori Program
Menurut teori ini penuaan terjadi karena kemampuan organisme untuk menetapkan jumlah sel yang membelah sel-sel tersebut mati.

b)      Teori Kejiwaan Sosial
1)      Aktivitas atau Kegiatan (Activity Theory)
Menurut Havigusrst dan Albrecht (1953) berpendapat bahwa sangat penting bagi lansia untuk tetap beraktifitas dan mencapai kepuasan.
2)      Teori Kepribadian Berlanjut (Continuity Theory)Perubahan yang terjadi pada lansia sangat dipengaruhi oleh tipe kepribadian yang dimiliki.
3)      Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang berangsur-angsur mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya.

c)      Teori Psikologi
Teori-teori psikologi dipengaruhi juga oleh biologi dan sosiologi salah satu teori yang ada. Teori tugas perkembangan yang diungkapkan oleh Hanghurst (1972) adalah bahwa setiap tugas perkembangan yang spesifik pada tiap tahap kehidupan yang akan memberikan persaan bahagia dan sukses. Tugas perkembangan yang spesifik ini bergantung pada maturasi fisik, penghargaan kultural, masyarakat, nilai aspirasi individu. Tugas perkembangan pada dewasa tua meliputi penerimaan adanya penurunan kekuatan fisik dan kesehatan, penerimaan masa pensiun dan penurunan pendapatan, respon penerimaan adanya kematian pasangan, serta mempertahankan kehidupan yang memuaskan.

d)     Teori Kesalahan Genetik
Proses menjadi tua ditentukan oleh kesalahan sel genetik DNA di mana sel genetik memperbanyak diri sehingga mengakibatkan kesalahan-kesalahan yang berakibat pula pada terhambatnya pembentukan sel berikutnya, sehingga mengakibatkan kematian sel. Pada saat sel mengalami kematian orang akan tampak menjadi tua.

e)      Teori Rusaknya Sistem Imun Tubuh
Mutasi yang terjadi secara berulang mengakibatkan kemampuan sistem imun untuk mengenali dirinya berkurang (self recognition), sehingga mengakibatkan kelainan pada sel karena dianggap sel asing yang membuat hancurnya kekebalan tubuh.

1.8  Perubahan yang terjadi pada lansia
Perubahan yang terjadi pada lansia diantaranya (Santoso, 2009):
1)      Perubahan kondisi fisik
Perubahan pada kondisi fisik pada lansia meliputi perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh, diantaranya sistem pernafasan, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskolosketal, gastrointestinal, urogenital, endokrin, dan integumen. Masalah fisik sehari-hari yang sering ditemukan pada lansia diantaranya lansia mudah jatuh, mudah lelah, kekacuan mental akut, nyeri pada dada, berdebar-debar, sesak nafas, pada saat melakukan aktifitas/kerja fisik, pembengkakan pada kaki bawah, nyeri pinggang atau punggung, nyeri sendi pinggul, sulit tidur, sering pusing, berat badan menurun, gangguan pada fungsi penglihatan, pendengaran, dan sulit menahan kencing.

2)      Perubahan kondisi mental
Pada umumnya lansia mengalami penurunann fungsi kognitif dan psikomotor. Perubahan-perubahan ini erat sekali kaitannya dengan perubahan fisik, keadaan kesehatan, tingkat pendidikan atau pengetahuan, dan situasi lingkungan. Dari segi mental dan emosional sering muncul perasaan pesimis, timbulnya perasaan tidak aman dan cemas. Adanya kekacauan mental akut, merasa terancam akan timbulnya suatu penyakit atau takut ditelantarkan karena tidak berguna lagi. Hal ini bisa meyebabkan lansia mengalami depresi.
3)      Perubahan psikososial
Masalah perubahan psikososial serta reaksi individu terhadap perubahan ini sangat beragam, bergantung pada kepribadian individu yang bersangkuatan.
4)      Perubahan kognitif
Perubahan pada fungsi kognitif di antaranya adalah kemunduran pada tugas-tugas yang membutuhkan kecepatan dan tugas yang memerlukan memori jangka pendek, kemampuan intelektual tidak mengalami kemunduran, dan kemampuan verbal akan menetap bila tidak ada penyakit yang menyertai.
5)      Perubahan spiritual
Menurut Maslow (1970), agama dan kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupanny

1.9  Tugas Perkembangan Lansia
Menurut Erickson, kesiapan lansia untuk beradaptasi atau menyesuaikan diri terhadap tugas perkembangan usia lanjut dipengaruhi oleh proses tumbuh kembang pada tahap sebelumnya. Adapun tugas perkembangan lansia adalah sebagai berikut :
1.      Mempersiapkan diri untuk kondisi yang menurun.
2.      Mempersiapkan diri untuk pensiun.
3.      Membentuk hubungan baik dengan orang seusianya.
4.      Mempersiapkan kehidupan baru.
5.      Melakukan penyesuaian terhadap kehidupan sosial/masyarakat secara santai.
6.      Mempersiapkan diri untuk kematiannya dan kematian pasangan (Maryam, 2008).
Tugas perkembangan lanjut usia menurut Potter dan Perry (2005), Seiring tahap kehidupan, lansia memiliki tugas perkembangan khusus. menurut Potter dan Perry (2005), tujuh kategori utama tugas perkembangan lansia meliputi:
1.      Menyesuaikan terhadap penurunan kekuatan fisik dan kesehatan
Lansia harus menyesuaikan dengan perubahan fisik seiring terjadinya penuaan sistem tubuh, perubahan penampilan dan fungsi. Hal ini tidak dikaitkan dengan penyakit, tetapi hal ini adalah normal.
2.      Menyesuaikan terhadap masa pensiun dan penurunan pendapatan
Lansia umumnya pensiun dari pekerjaan purna waktu, dan oleh karena itu mungkin perlu untuk meyesuaikan dan membuat perubahan karena hilangnya peran bekerja.
3.      Menyesuaikan terhadap kematian pasangan
Mayoritas lansia dihadapkan pada kematian pasangan, teman, dan kadang anaknya. Kehilangan ini sering sulit diselesaikan, apalagi bagi lansia yang menggantungkan hidupnya dari seseorang yang meninggalkannya dan sangat berarti bagi dirinya.
4.      Menerima diri sendiri sebagai individu lansia
Beberapa lansia menemukan kesulitan untuk menerima diri sendiri selama penuaan. Mereka dapat memperlihatkan ketidakmampuannya sebagai koping dengan menyangkal penurunan fungsi, meminta cucunya untuk tidak memanggil mereka “nenek” atau menolak meminta bantuan dalam tugas yang menempatkan keamanan mereka pada resiko yang besar
5.      Mempertahankan kepuasan pengaturan hidup
Lansia dapat mengubah rencana kehidupannya. Misalnya kerusakan fisik dapat mengharuskan pindah ke rumah yang lebih kecil dan untuk seorang diri
6.      Mendefinisikan ulang hubungan dengan anak yang dewasa
Lansia sering memerlukan penetapan hubungan kembali dengan anak-anaknya yang telah dewasa
7.      Menentukan cara untuk mempertahankan kualitas hidup
Lansia harus belajar menerima akivitas dan minat baru untuk mempertahankan kualitas hidupnya. Seseorang yang sebelumnya aktif secara sosial sepanjang hidupnya mungkin merasa relatif mudah untuk bertemu orang baru dan mendapat minat baru. Akan tetapi, seseorang yang introvertdengan sosialisasi terbatas, mungkin menemui kesulitan bertemu orang baru selama pensiun.

1.10   Masalah Fisik yang Sering Ditemukan pada Lansia
Menurut Azizah (2011), masalah fisik yang sering ditemukan pada lansia
adalah:
a.       Mudah Jatuh
Jatuh adalah suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata yang melihat kejadian yang mengakibatkan seseorang mendadak terbaring/terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan kesadaran atau luka
b.      Mudah Lelah
Disebabkan oleh:
a)      faktor psikologis (perasaan bosan, keletihan atau perasaan depresi)
b)      gangguan organis
c)      pengaruh obat-obat
c.       Berat Badan Menurun
Disebabkan oleh:
a)      Pada umumnya nafsu makan menurun karena kurang gairah hidup atau kelesuan
b)      Adanya penyakit kronis
c)      Gangguan pada saluran pencernaan sehingga penyerapan makanan terganggu
d)     Faktor-faktor sosioekonomis (pensiun)
d.      Sukar Menahan Buang Air Besar
Disebabkan oleh:
a)      Obat-obat pencahar perut
b)      Keadaan diare
c)      Kelainan pada usus besar
d)     Kelainan pada ujung saluran pencernaan (pada rektum usus)
e.       Gangguan pada Ketajaman Penglihatan
Disebabkan oleh:
a)      Presbiop
b)      Kelainan lensa mata (refleksi lensa mata kurang)
c)      Kekeruhan pada lensa (katarak)
d)     Tekanan dalam mata yang meninggi (glaukoma)














BAB 2
KONSEP TEORI OSTEOARTRITIS

2.1  Pengertian
Osteoartritis adalah penyakit peradangan sendi yang sering muncul pada usia lanjut. Jarang dijumpai pada usia dibawah 40 tahun dan lebih sering dijumpai pada usia diatas 60 tahun. Osteoartritis yang dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau osteoartrosis (sekalipun terdapat inflamasi) merupakan kelainan sendi yang paling sering ditemukan dan kerapkali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas). (Smeltzer , C Suzanne, 2002 hal 1087)
Osteoartritis merupakan golongan rematik sebagai penyebab kecacatan yang menduduki urutan pertama dan akan meningkat dengan meningkatnya usia, penyakit ini jarang ditemui pada usia di bawah 46 tahun tetapi lebih sering dijumpai pada usia di atas 60 tahun. Faktor umur dan jenis kelamin menunjukkan adanya perbedaan frekuensi (Sunarto, 1994, Solomon, 1997).
Penyakit Sendi Degeneratif (osteoarthritis) adalah penyakit kerusakan tulang rawan sendi yang berkembang lambat dan penyebabnya belum diketahui (Kalim, IPD,1997). Atau gangguan pada sendi yang bergerak ( Price & Wilson,1995).
Osteoarthritis yang juga dikenal sebagai penyakit sendi degeneratif atau osteoarthritis (sekalipun terdapat inflamasi) merupakan kelainan sendi yang paling sering ditemukan dan kerapkali menimbulkan ketidakmampuan (disabilitas).
Sedangkan menurut Harry Isbagio & A. Zainal Efendi (1995) osteoartritis merupakan kelainan sendi non inflamasi yang mengenai sendi yang dapat digerakkan, terutama sendi penumpu badan, dengan gambaran patologis yang karakteristik berupa buruknya tulang rawan sendi serta terbentuknya tulang-tulang baru pada sub kondrial dan tepi-tepi tulang yang membentuk sendi, sebagai hasil akhir terjadi perubahan biokimia, metabolisme, fisiologis dan patologis secara serentak pada jaringan hialin rawan, jaringan subkondrial dan jaringan tulang yang membentuk persendian. (R. Boedhi Darmojo & Martono Hadi ,1999)

2.2  Klasifikasi
Osteoartritis diklasifikasikan menjadi :
1.      Tipe primer (idiopatik) tanpa kejadian atau penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan osteoartritis
2.      Tipe sekunder seperti akibat trauma, infeksi dan pernah fraktur (Long, C Barbara, 1996 hal 336)
2.3  Etiologi
Penyebab dari osteoartritis hingga saat ini masih belum terungkap, namun beberapa faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis antara lain adalah :
1.      Umur.
Dari semua faktor resiko untuk timbulnya osteoartritis, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya orteoartritis semakin meningkat dengan bertambahnya umur. Osteoartritis hampir tak pernah pada anak-anak, jarang pada umur dibawah 40 tahun dan sering pada umur diatas 60 tahun. Perubahan fisis dan biokimia yang terjadi sejalan dengan bertambahnya umur dengan penurunan jumlah kolagen dan kadar air, dan endapannya berbentuk pigmen yang berwarna kuning.
2.      Jenis Kelamin.
Wanita lebih sering terkena osteoartritis lutut dan sendi , dan lelaki lebih sering terkena osteoartritis paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keeluruhan dibawah 45 tahun frekuensi osteoartritis kurang lebih sama pada laki dan wanita tetapi diatas 50 tahun frekuensi oeteoartritis lebih banyak pada wanita dari pada pria hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis osteoartritis.
3.      Genetic Faktor
herediter juga berperan pada timbulnya osteoartritis missal, pada ibu dari seorang wanita dengan osteoartritis pada sendi-sendi inter falang distal terdapat dua kali lebih sering osteoartritis pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai tiga kali lebih sering dari pada ibu dan anak perempuan dari wanita tanpa osteoarthritis. Heberden node merupakan salah satu bentuk osteoartritis yang biasanya ditemukan pada pria yang kedua orang tuanya terkena osteoartritis, sedangkan wanita, hanya salah satu dari orang tuanya yang terkena.
4.      Suku.
Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada osteoartritis nampaknya terdapat perbedaan diantara masing-masing suku bangsa, misalnya osteoartritis paha lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan usia dari pada kaukasia. Osteoartritis lebih sering dijumpai pada orang – orang Amerika asli dari pada orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
5.      Kegemukan
Berat badan yang berlebihan nyata berkaitan dengan meningkatnya resiko untuk timbulnya osteoartritis baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan osteoartritis pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan osteoartritis sendi lain (tangan atau sternoklavikula).
6.      Cedera sendi
pekerjaan dan olah raga (trauma) Kegiatan fisik yang dapat menyebabkan osteoartritis adalah trauma yang menimbulkan kerusakan pada integritas struktur dan biomekanik sendi tersebut.
7.      Kepadatan tulang dan pengausan (wear and tear)
Pemakaian sendi yang berlebihan secara teoritis dapat merusak rawan sendi melalui dua mekanisme yaitu pengikisan dan proses degenerasi karena bahan yang harus dikandungnya.
8.      Akibat penyakit radang sendi lain
Infeksi (artritis rematord; infeksi akut, infeksi kronis) menimbulkan reaksi peradangan dan pengeluaran enzim perusak matriks rawan sendi oleh membran sinovial dan sel-sel radang.
9.      Joint Mallignment
Pada akromegali karena pengaruh hormon pertumbuhan, maka rawan sendi akan membal dan menyebabkan sendi menjadi tidak stabil / seimbang sehingga mempercepat proses degenerasi.
10.  Penyakit endokrin
Pada hipertiroidisme, terjadi produksi air dan garam-garam proteglikan yang berlebihan pada seluruh jaringan penyokong sehingga merusak sifat fisik rawan sendi, ligamen, tendo, sinovia, dan kulit. Pada diabetes melitus, glukosa akan menyebabkan produksi proteaglikan menurun.
11.  Deposit pada rawan sendi
Hemokromatosis, penyakit Wilson, akronotis, kalsium pirofosfat dapat mengendapkan hemosiderin, tembaga polimer, asam hemogentisis, kristal monosodium urat/pirofosfat dalam rawan sendi.




2.4  Tanda dan Gejala Klinis
Pada umumnya, pasien OA mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien OA :
a.       Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan dan tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang melebihi gerakan lain. Perubahan ini dapat ditemukan meski OA masih tergolong dini ( secara radiologis ). Umumnya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bias digoyangkan dan menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris ( seluruh arah gerakan ) maupun eksentris ( salah satu arah gerakan saja ) ( Soeroso, 2006 )..
Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada sendi tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan bahwa nyeri yang timbul pada OA berasal dari luar kartilago (Felson, 2008).
Pada penelitian dengan menggunakan MRI, didapat bahwa sumber dari nyeri yang timbul diduga berasal dari peradangan sendi ( sinovitis ), efusi sendi, dan edema sumsum tulang ( Felson, 2008).
Osteofit merupakan salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit tumbuh, inervasi neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan menuju ke osteofit yang sedang berkembang Hal ini menimbulkan nyeri (Felson, 2008).
Nyeri dapat timbul dari bagian di luar sendi, termasuk bursae di dekat sendi. Sumber nyeri yang umum di lutut adalah aakibat dari anserine bursitis dan sindrom iliotibial band (Felson, 2008).
b.      Hambatan gerakan sendi
Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat secara perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri( Soeroso, 2006 ).
c.       Kaku pagi
Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari( Soeroso, 2006 ).



d.      Krepitasi
Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit. Gejala ini umum dijumpai pada pasien OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu (Soeroso, 2006)..
e.       Pembesaran sendi ( deformitas )
Sendi yang terkena secara perlahan dapat membesar ( Soeroso, 2006 ).
f.       Pembengkakan sendi yang asimetris
Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi berubah ( Soeroso, 2006 ).
g.      Tanda – tanda peradangan
Tanda–tanda adanya peradangan pada sendi ( nyeri tekan, gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai pada OA karena adanya synovitis. Biasanya tanda – tanda ini tidak menonjol dan timbul pada perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada OA lutut ( Soeroso, 2006 ).
h.      Perubahan gaya berjalan
Gejala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien dan merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA, terlebih pada pasien lanjut usia. Keadaan ini selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan terutama pada OA lutut ( Soeroso, 2006 ).

2.5 Patofisiologi
Penyakit   sendi   degeneratif   merupakan   suatu   penyakit   kronik,   tidak meradang, dan progresif lambat, yang seakan-akan merupakan proses penuaan, rawan   sendi   mengalami   kemunduran   dan   degenerasi   disertai   dengan pertumbuhan tulang baru pada bagian tepi sendi.
Proses degenerasi ini disebabkan oleh proses pemecahan kondrosit yang merupakan unsur penting rawan sendi. Pemecahan tersebut diduga diawali oleh stress biomekanik tertentu. Pengeluaran enzim lisosom menyebabkan dipecahnya polisakarida protein yang membentuk matriks di sekeliling kondrosit sehingga mengakibatkan kerusakan tulang rawan. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi yang harus menanggung berat badan, seperti panggul lutut dan kolumna vertebralis. Sendi interfalanga distal dan proksimasi.
Osteoartritis  pada beberapa kejadian  akan mengakibatkan  terbatasnya gerakan. Hal ini disebabkan oleh adanya rasa nyeri yang dialami atau diakibatkan penyempitan ruang sendi atau kurang digunakannya sendi tersebut. 
Perubahan-perubahan degeneratif yang mengakibatkan karena peristiwa-peristiwa tertentu misalnya cedera sendi infeksi sendi deformitas congenital dan penyakit peradangan sendi lainnya akan menyebabkan trauma pada kartilago yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik sehingga menyebabkan fraktur ada ligamen atau adanya perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang rawan mengalami erosi dan kehancuran, tulang menjadi tebal dan terjadi penyempitan rongga sendi yang menyebabkan nyeri, kaki kripitasi, deformitas, adanya hipertropi atau nodulus. ( Soeparman ,1995).

2.6  Pemeriksaan Diagnostik
Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik ( Soeroso, 2006 ). Gambaran Radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :
a.       Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada bagian yang menanggung beban seperti lutut ).
b.      Peningkatan densitas tulang subkondral ( sklerosis ).
c.       Kista pada tulang
d.      Osteofit pada pinggir sendi
e.       Perubahan struktur anatomi sendi.
Berdasarkan temuan-temuan radiografis diatas, maka OA dapat diberikan suatu derajat. Kriteria OA berdasarkan temuan radiografis dikenal sebagai kriteria Kellgren dan Lawrence yang membagi OA dimulai dari tingkat ringan hingga tingkat berat. Perlu diingat bahwa pada awal penyakit, gambaran radiografis sendi masih terlihat normal ( Felson, 2006 ).





2.7  Pemeriksaan Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna. Pemeriksaan darah tepi masih dalam batas – batas normal. Pemeriksaan imunologi masih dalam batas – batas normal. Pada OA yang disertai peradangan sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel peradangan ( < 8000 / m ) dan peningkatan nilai protein (Soeroso, 2006 ).


2.8  Penatalaksanaan Osteoartritis
Pengeloaan OA berdasarkan atas sendi yang terkena dan berat ringannya OA yang diderita ( Soeroso, 2006 ). Penatalaksanaan OA terbagi atas 3 hal, yaitu :
1.      Terapi non-farmakologis
a.       Edukasi
Edukasi atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar pasien dapat mengetahui serta memahami tentang penyakit yang dideritanya, bagaimana agar penyakitnya tidak bertambah semakin parah, dan agar persendiaanya tetap terpakai ( Soeroso, 2006 ).
b.      Terapi fisik atau rehabilitasi
Pasien dapat mengalami kesulitan berjalan akibat rasa sakit. Terapi ini dilakukan untuk melatih pasien agar persendianya tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit. ( Soeroso, 2006 ).
c.       Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebih merupakan faktor yang memperberat OA. Oleh karena itu, berat badan harus dapat dijaga agar tidak berlebih dan diupayakan untuk melakukan penurunan berat badan apabila berat badan berlebih ( Soeroso, 2006 ).

2.      Terapi farmakologis
Penanganan terapi farmakologi melingkupi penurunan rasa nyeri yang timbul, mengoreksi gangguan yang timbul dan mengidentifikasi manifestasi-manifestasi klinis dari ketidakstabilan sendi ( Felson, 2006 ).


a.       Obat Antiinflamasi Nonsteroid ( AINS ), Inhibitor Siklooksigenase-2 (COX-2), dan Asetaminofen
Untuk mengobati rasa nyeri yang timbul pada OA lutut, penggunaan obat AINS dan Inhibitor COX-2 dinilai lebih efektif daripada penggunaan asetaminofen. Namun karena risiko toksisitas obat AINS lebih tinggi daripada asetaminofen, asetaminofen tetap menjadi obat pilihan pertama dalam penanganan rasa nyeri pada OA. Cara lain untuk mengurangi dampak toksisitas dari obat AINS adalah dengan cara mengombinasikannnya dengan menggunakan inhibitor COX-2 ( Felson, 2006 ).
b.      Chondroprotective Agent
Chondroprotective Agent adalah obat – obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan dari kartilago pada pasien OA. Obat – obatan yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin C, dan sebagainya ( Felson, 2006 ).

3.      Terapi pembedahan
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari – hari.














BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
a.       Riwayat Kesehatan
-            Adanya keluhan sakit dan kekakuan pada tangan, atau pada tungkai.
-            Perasaan tidak nyaman dalam beberapa periode/waktu sebelum pasien mengetahui dan merasakan adanya perubahan pada sendi.
b.      Pemeriksaan Fisik
1)      Aktivitas/istirahat
Gejala : nyeri sendi karena pergerakan, nyeri tekan, yang memburuk dengan stress dengan sendi, kekakuan senda pada pagi hari, biasanya terjadi secara bilateral dan simetris.
Tanda : malaise, keterbatasan ruang gerak, atrofi otot, kulit kontraktur atau kelainan pada sendi dan otot.
2)      Kardiovaskur
Gejala : fenomena Raynaud jari tangan/kaki, missal pucat intermitten, sianotik kemudian kemerahan pada jari sebelum warna kembali normal
3)      Integritas ego
Gejala : factor-faktor stress akut/kronis missal finansial, pekerjaan, ketidakmampuan, factor-faktor hubungan social, keputusan dan ketidakberdayaan. Ancaman pada konsep diri, citra tubuh, identitas diri missal ketergantungan pada orang lain, dan perubahan bentuk anggota tubuh
4)      Makanan / cairan
Gejala : ketidakmampuan untuk menghasilkan atau mengonsumsi makanan atau cairan adekuat : mual, anoreksia, dan kesulitan untuk mengunyah.
Tanda : penurunan berat badan, dan membrane mukosa kering.
5)      Hygiene
Gejala : berbagai kesulitan untuk melaksanakan aktivitas perawatan pribadi secara mandiri, ketergantungan pada orang lain.
6)      Neurosensory
Gejala : kebas/ kesemutan pada tangan dan kaki, hilangnya sensasi pada jari tangan.
Tanda : pembengkakan sendi simetri
7)      Nyeri/kenyamanan
Gejala : fase akut dari nyeri ( disertai / tidak disertai pembengkakan jaringan lunak pada sendi ), rasa nyeri kronis dan kekakuan ( terutama pada pagi hari ).
8)      Keamanan
Gejala : kulit mengkilat, tegang, nodus subkutaneus. Lesi kulit, ulkus kaki, kesulitan dalam menangani tugas/pemeliharaan rumah tangga, demam ringan menetap, kekeringan pada mata, dan membrane mukosa.
9)      Interaksi social
Gejala : kerusakan interaksi dengan keluarga/orang lain, perubahan peran, isolasi.

c.       Riwayat Psiko Sosial
Pasien dengan OA mungkin merasakan adanya kecemasan yang cukup tinggi apalagi pada pasien yang mengalami deformitas pada sendi-sendi karean ia merasakan adanya kelemahan-kelemahan pada dirinya dan merasakan kegiatan sehari-hari menjadi berubah. Perawat dapat melakukan pengkajian terhadap konsep diri klien khususnya aspek body image dan harga diri klien.

3.2 Diagnosa Keperawatan
a.      Intoleransi Aktivitas b/d tirah baring dan imobilitas, kelemahan umum, gaya hidup kurang gerak
b.      Ansietas b/d ancaman atau perubahan pada kesehatan, kebutuhan yang tidak terpenuhi
c.       Gangguan citra tubuh b/d penyakit, ditandai dengan deformitas sendi
d.      Resiko jatuh b/d penurunan kekuatan ekstremitas bawah, kelemahan umum
e.       Defisiensi pengetahuan tentang proses penyakit b/d keterbatasan kognitif, kurang familier dengan sumber-sumber informasi
f.       Nyeri b/d penyempitan rongga sendi
g.      Defisit perawatan diri b/d gangguan muskuloskeletal, kelemahan

3.3 Intervensi Keperawatan
a.      Intoleransi Aktivitas b/d tirah baring dan imobilitas, kelemahan umum, gaya hidup kurang gerak
Kriteria Hasil :
·         Menoleransi aktivitas yang biasa dilakukan
·         Menunjukkan toleransi aktivitas
·         Mendemonstrasikan penghematan energi
Intervensi :
1)      Kaji tingkat kemampuan klien berpindah dari tempat tidur, berdiri, ambulasi.
2)      Evaluasi motivasi dan keinginan pasien untuk meningkatkan aktivitas
3)      Tentukan penyebab keletihan
4)      Pantau asupan nutrisi untuk memastikan sumber-sumber energi yang adekuat

b.      Ansietas b/d ancaman atau perubahan pada kesehatan, kebutuhan yang tidak terpenuhi
Kriteria hasil :
·         Ansietas berkurang, dibuktikan oleh tingkat ansietas hanya ringan hingga sedang
·         Menunjukkan pengendalian diri terhadap ansietas yang dibuktikan oleh indikator 1-5 (tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu)
Intervensi :
1)      Kaji dan dokumentasikan tingkat kecemasan pasien
2)      Gali bersama pasien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil menurunkan ansietas
3)      Bantu pengalihan ansietas melalui radio, TV, permainan untuk menurunkan ansietas dan memperluas fokus
4)      Kolaborasi pemberian obat untuk menurunkan ansietas
c.       Gangguan citra tubuh b/d penyakit, ditandai dengan deformitas sendi
Kriteria Hasil :
·        Gangguan citra tubuh berkurang yang dibuktikan oleh selalu menunjukkan adaptasi dengan ketunadayaan fisik
·        Menunjukkan citra tubuh
Intervensi :
1)      Kaji dan dokumentasikan respons verbal dan nonverbal pasien terhadap tubuh klien
2)      Identifikasi mekanisme koping yang biasa digunakan klien
3)      Tentukan harapan klien tentang citra tubuh berdasarkan tahap perkembangan

d.      Resiko jatuh b/d penurunan kekuatan ekstremitas bawah, kelemahan umum
Kriteria Hasil :
·        Resiko jatuh akan menurun atau terbatas, yang dibuktikan oleh keseimbangan, gerakan terkoordinasi, perilaku pencegahan jatuh, kejadian jatuh, dan pengetahuan : Pencegahan Jatuh
Intervensi :
1)      Lakukan pengkajian resiko jatuh pada pasien
2)      Identifikasi karakteristik lingkungan yang dapat meningkatkan potensi jatuh
3)      Ajarkan klien bagaimana posisi terjatuh yang dapat meminimalkan cedera
4)      Bantu pasien saat ambulasi
5)      Sediakan alat bantu berjalan







e.       Defisiensi pengetahuan tentang proses penyakit b/d keterbatasan kognitif, kurang familier dengan sumber-sumber informasi
Kriteria Hasil :
·         Mengidentifikasi kebutuhan terhadap informasi tambahan tentang proses penyakit
Intervensi :
1)      Kaji tingkat pengetahuan klien saat ini dan pemahaman terhdapa materi
2)      Tetapkan tujuan pembelajaran bersama yang realistis dengan klien
3)      Pilih metode dan strategi penyuluhan yang sesuai
4)     Beri waktu pada klien untuk mengajukan pertanyaan dan mendiskusikan permasalahannya

f.       Nyeri b/d penyempitan rongga sendi
Kriteria Hasil :
·         Melaporkan nyeri dapat dikendalikan
·         Menunjukkan pengurangan tingkat nyeri
Intevensi :
1)     Kaji tingkat nyeri
2)     Ajarkan penggunaan teknik non farmakologis pengendalian nyeri setelah atau selama aktivitas yang menimbulkan nyeri
3)     Kolaborasi pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri (berat)
4)     Kendalikan faktor lingkungan yang memengaruhi respon pasien terhadap ketidaknyamanan






g.      Defisit perawatan diri b/d gangguan muskuloskeletal, kelemahan
Kriteria Hasil :
·         Menunjukkan perawatan diri : Aktivitas kehidupan sehari-hari dapat terpenuhi
Intervensi :
1)  Kaji kemampuan personal hygiene
2)  Pantau adanya perubahan kemampuan fungsi
3)  Dukung kemandirian klien dalam personal hygiene, bantu klien hanya jika diperlukan
4)  Libatkan keluarga dalam pemberian asuhan
5)  Akomodasi pilihan dan kebutuhan klien seoptimal mungkin





















DAFTAR PUSTAKA

Maslow, A. H., 1970, Motivation and Personality, Jakarta: PT Pustaka Binaman Pressindo
Maryam, S dkk 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Salemba Medika. Jakarta
Nugroho. W. (2000). Keperawatan Gerontik. Edisi 2. Jakarta. EGC
Nugroho, W.H. (2006). Komunikasi Dalam Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC
Nugroho. W. (2008). Keperawatan Gerontikdan Geriatri. (Edisi 3) Jakarta : EGC
Azizah, Lilik Ma’ rifatul, (2011).Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Yogyakarta : GrahaIlmu
Tamher, S. Noorkasiani, (2011). Kesehatan Lanjut Usia dengan Pendekatan Asuhan Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika
Potter, P.A, Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, dan Praktik.Edisi 4.Volume 2.Alih Bahasa : Renata Komalasari,dkk.Jakarta:EGC.2005
Potter, P.A, Perry, A.G.Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses, Dan Praktik.Edisi 4.Volume 1.Alih Bahasa : Yasmin Asih, dkk. Jakarta : EGC.2005
Budiana keliat (1999). Proses keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta, EGC
Azwar, Saifudin, (2006), Reliabilitas dan Validitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hutapea, A.M. (2005). Keajaiban Dalam Tubuh Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hardywinoto, Setiabudi, T., 1999.Panduan Gerontologi Tinjauan dari berbagai Aspek. Jakarta: PT Gramedia
Constantinides. P. The commonest causes of anoxic necrosis. Dalam : General Pathobiology. Norwalk Connecticut : Appleton & Lange. 1994
Darmojo Boedi. Martono Hadi. Geriatri. Balai Penerbit FKUI.Jakarta. 1999. 242
Tjokronegoro, Arjatmo dan Hendra Utama. 1996. Pemeriksaan Hematologi Sederhana. FKUI: Jakarta.
Tehupeiory, Edu. 2000. “Perkembangan Mutakhir OA Patogenesis, Diagnosis & Tatalaksana”
Wijayakusuma, H. (2006). Atasi Asam Urat dan Reumatik ala Hembing. Jakarta: Puspa Swara. Hal. 46
Sustrani, Lanny, dkk. 2004. Asam Urat. Jakarta : PT Gramedia Pustaka.
Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Suherman S. 2010. Asam urat, Penyakit dan pengobatannya
Ahmad, Nablory. 2011. Cara Mencegah dan Mengobati Asam Urat dan Hipertensi. Jakarta: Rineka Cipta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar